TEMPO.CO, Jakarta - Kemarin tepat 16 tahun aktivis Hak Asasi Manusia Munir Said Thalib dibunuh di udara. Munir dibunuh dalam penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004. Ia tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat.
Hasil otopsi kepolisian Belanda dan Indonesia menemukan Munir tewas karena racun arsenik. Setelah penyelidikan polisi menetapkan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi tersangka pembunuhan pada 18 Maret 2005.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus ia bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara pada 12 Desember 2005. Pollycarpus sudah bebas dari penjara. Namun kasus Munir masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum selesai diungkap. Tempo merangkum lima hal di hari peringatan 16 tahun kasus pembunuhan Munir.
Tabir Motif Pembunuhan
Motif sesungguhnya pembunuhan Munir masih misterius. Ada dugaan Munir dibunuh karena memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia (HAM) seperti kasus Talangsari, penculikan aktivis 1998, hingga kampanye hitam pemilihan presiden 2004.
Suciwati, istri Munir, tak percaya dugaan itu meski beberapa saat setelah kematian Munir, Deputi VII Bidang Teknologi dan Informasi BIN Bijah Subiyanto, memberitahu secara samar soal motif pembunuhan. “Coba periksa kasus-kasus besar yang ditangani almarhum sebelum pergi,” kata Suciwati, meniru Bijah seperti dikutip dari Majalah Tempo, edisi 8 Desember 2020.
Bijah meninggal pada 1 Juli 2009 di Tiongkok, tanpa keterangan meyakinkan penyebab kematiannya. Menurut Suciwati, Bijah secara rutin menghubunginya setelah kematian Munir. “Tiap Lebaran dia mengirim SMS meminta maaf,” katanya.
Target Ikan Besar
Setelah selesai menuntaskan misinya membunuh Munir, Pollycarpus dikabarkan melaporkan operasinya ke Kolonel Budi Santoso, Deputi Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara. “Dia bilang mendapat ikan besar di Singapura,” kata Budi, dalam rekaman kasaksiannya kepada penyidik di Kualalumpur, 7 Mei 2008 seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 8 Desember 2014.
Budi harus bersaksi di luar negeri karena mendapat informasi akan dihabisi jika pulang. Budi Santoso mengatakan pernah ada rapat internal lembaganya membahas Munir. Direktur Imparsial itu disebut akan menjual negara dengan data-data yang dibawa ke Belanda untuk studi hukum di Utrecht Universiteit. “Hendropriyono meminta upaya Munir itu dicegah,” kata Budi.
A.M Hendropriyono, Kepala BIN 2001-2004, sudah menyangkal lembaga yang dipimpinnya mengincar Munir. “Munir bukan orang yang membahayakan,” katanya. Hendro mengatakan tahun 2004 bahkan Munir sudah merapat ke kubu PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati Soekarnoputri, presiden yang dekat dengannya.
Suciwati, istri Munir, menyangkal dugaan ini. Sebelum berangkat Suciwati memeriksa laptop yang dibawa suaminya. “Ketika dikembalikan setelah meninggal, saya periksa isinya sama: tak ada data penting,” katanya. “Dokumen penting itu, ya, Munir sendiri. Dia dokumen hidup.”