TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, lima belas tahun lalu aktivis HAM Munir Said Thalib dihilangkan nyawanya. Tapi, dalang pembunuhan Munir belum juga terungkap.
Suara-suara yang menuntut pengungkapan dalang pembunuhan itu menggema bahkan hingga di depan Istana Negara. Suciwati, istri almarhum Munir juga tak lelah menuntut keadilan.
Dia mendesak Presiden Joko Widodo atau Jokowi menepati janji menyelesaikan kasus Munir dan mengungkap dalang pembunuhannya. "Saya tegaskan, jangan menjilat ludah sendiri. Kalau Pak Jokowi berjanji mau menyelesaikan kasus Munir, ya harus ditepati," kata Suciwati di Kantor Kontras, Kwitang, Jakarta Pusat, Jumat 6 September 2019.
Munir Said Thalib tewas dalam penerbangan ke Amsterdam pada 7 September 2004. Ia tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam pukul 08.10 waktu setempat. Hasil otopsi kepolisian Belanda dan Indonesia menemukan Munir tewas karena racun arsenik.
Pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) dan sahabat Munir melakukan aksi Kamisan dalam rangka memperingati 12 tahun kematian aktivis HAM Munir Said Thalib di alun-alun Kota Batu, Jawa Timur, 8 September 2016. Mereka menuntut pemerintah untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir dan kasus pelanggaran HAM lainnya. TEMPO/Aris Novia Hidayat
Setelah penyelidikan, kepolisian menetapkan pilot Garuda Indonesia Pollycarpus Budihari Priyanto menjadi tersangka pembunuhan pada 18 Maret 2005. Majelis hakim Pengadilan Negeri Pusat memutus ia bersalah dan menghukumnya 14 tahun penjara pada 12 Desember 2005.
Dalam persidangan, terungkap Pollycarpus beberapa kali mendapat telepon dari nomor khusus Deputi V/Penggalangan dan Propaganda Badan Intelijen Negara (BIN) Mayor Jenderal Muchdi Pr. Petinggi BIN itu pun ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Juni 2008 karena diduga terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan rupanya tak melihat ada jejak Muchdi dalam pembunuhan Munir. Hakim membebaskan Muchdi pada 31 Desember 2008.
Pada akhirnya hanya dua orang yang dihukum atas kematian Munir. Mereka adalah Pollycarpus dan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan. Indra dianggap memberikan kesempatan kepada Polly untuk membunuh Munir dengan menempatkannya di bagian keselamatan penerbangan yang memungkinkan Polly terbang pada hari pembunuhan. Indra divonis 1 tahun penjara.
Adapun Pollycarpus, mendapatkan banyak pengurangan masa penjara selama menjalani 14 tahun hukuman. Total, Pollycarpus mendapatkan remisi total 4 tahun 6 bulan 20 hari. Pollycarpus akhirnya bebas bersyarat pada 28 November 2014 dan bebas murni pada 29 Agustus 2018.
Pemerintah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah membentuk Tim Pencari Fakta untuk mengungkap dalang pembunuhan Munir. Namun dokumen hasil penyelidikan TPF itu hilang. Hilangnya keberadaan dokumen TPF Munir mengemuka Kontras memenangi gugatan terhadap Kementerian Sekretariat Negara untuk mempublikasikan laporan penyelidikan TPF. Namun Istana menyatakan tak memiliki dokumen tersebut.
Pada peringatan 15 tahun Munir wafat, para aktivis HAM masih terus menuntut pemerintah menelusuri hilangnya berkas penyelidikan TPF Munir itu. "Sampai kapanpun, kami menagih kewajiban presiden untuk mengumumkan dokumen TPF tersebut kepada masyarakat, karena ada Keppres-nya" ujar Koordinator KontraS Yati Andriyani di kantornya, Jumat 6 September 2019.
Keputusan Presiden yang dimaksud Yati ialah Keppres Nomor 111 Tahun 2004 butir sembilan yang berbunyi, "Pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan Tim kepada masyarakat".
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menilai bahwa kasus pembunuhan Munir 15 tahun yang lalu sebenarnya bukan tidak bisa diungkap, hanya pemerintah yang dinilai sengaja tidak mau mengungkap kasus ini. "Lagi-lagi, yang dibutuhkan adalah kemauan. Langkah politik secara konkret dari presiden dan DPR akan mendorong pimpinan lembaga-lembaga hukum untuk menindaklanjuti kasus Munir," kata Usman di lokasi yang sama.
DEWI NURITA l GALUH PUTRI RIYANTO