TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal Awi Setiyono mengatakan penyidik masih menunggu pengacara dari Kedutaan Besar Belanda sebelum memeriksa Maria Lumowa.
"Yang bersangkutan meminta pendampingan dari penasihat hukum yang rencananya akan disediakan oleh Kedubes Belanda. Tentunya hal tersebut menjadi hak tersangka," kata Awi di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Senin, 13 Juli 2020.
Terkait dengan permintaan kehadiran penasehat hukum, Polri sudah mengirimkan surat resmi kepada Kedutaan Belanda. Hingga sekarang, pihaknya masih menunggu jawaban. Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa sebanyak 12 saksi.
Awi mengatakan penyidik berusaha menangani dan menuntaskan kasus ini sesegera mungkin. "Sebab jangka waktu kedaluwarsa akan berakhir pada bulan Oktober 2021. Tentunya jika lebih dapat cepat diselesaikan, lebih baik," katanya.
Maria tiba di Indonesia pada Kamis, 9 Juli 2020 setelah diekstradisi dari Serbia. Setibanya di Indonesia, Maria langsung dibawa ke Bareskrim Polri, kemudian ditahan.
Dalam kasus pembobolan kas Bank BNI cabang Kebayoran Baru lewat letter of credit (LC) fiktif, polisi menetapkan 16 orang sebagai tersangka, termasuk Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
"Adrian dan 14 orang lainnya telah menjalani hukuman. Adrian hukuman seumur hidup, ada juga yang sudah dibebaskan dan ada yang sudah meninggal," ujar Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Pada periode Oktober 2002 hingga Juli 2003, Bank BNI mengucurkan pinjaman senilai Rp 1,2 triliun kepada PT Gramarindo Group yang dimiliki Maria Pauline Lumowa dan Adrian Waworuntu.
Pada bulan Juni 2003, BNI yang curiga dengan transaksi keuangan PT Gramarindo Group mulai menyelidiki dan mendapati perusahaan tersebut tidak pernah ekspor.
Dugaan LC fiktif ini kemudian dilaporkan ke Mabes Polri. Namun, Maria sudah lebih dahulu terbang ke Singapura pada bulan September 2003 atau sebulan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh tim khusus yang dibentuk Mabes Polri.