TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dukcapil Kemendagri) Zudan Arif Fakrullah menjelaskan persyaratan dan tata cara mendapatkan hak akses data kependudukan untuk penyelenggara pinjaman daring diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan. “Salah satu syaratnya adalah surat keterangan izin usaha dan adanya rekomendasi tertulis dari otoritas pembinaan dan pengawasan kegiatan usaha bagi badan hukum Indonesia,” kata Zudan dalam keterangan tertulisnya, Ahad, 14 Juni 2020/
Dukcapil Kemendagri meneken perjanjian kerja sama dengan 13 perusahaan swasta, tiga di antaranya financial technology atau penyedia jasa pinjaman online. Tiga fintech itu adalah PT Pendanaan Teknologi Nusa (Pendanaan.com), PT Digital Alpha Indonesia (UangTeman), dan PT Ammana Fintek Syariah (Ammana).
Menurut Zudan, ketiga perusahaan peer-to-peer lending itu telah mendapatkan izin untuk beroperasi serta rekomendasi tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, kata dia, setiap perusahaan yang bekerja sama wajib menjaga kerahasiaan data kependudukan.
Zudan memaparkan cara kerja hak verifikasi data. Misalnya, seorang bernama Budi mendaftar pinjaman online di salah satu perusahaan fintech. Perusahaan dapat mencocokkan data NIK, nama, dan tempat tanggal lahir yang diberikan Budi dengan data di Dukcapil Kemendagri. Keluaran hasil dari verifikasi itu bisa 'sesuai' atau 'tidak sesuai'.
Pemberian akses data oleh Kemendagri ini dikritik anggota DPR RI dan masyarakat sipil. Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman mengkritik langkah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan akses data kependudukan kepada 13 lembaga keuangan. Data itu rentan disalahgunakan oleh pihak lain.
"Ada catatan besar ketika Kemendagri memberikan data-data pribadi warga negara kepada lembaga keuangan. Data kependudukan itu menyangkut profil lengkap warga negara yang rentan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab," kata Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyu Wagiman saat dihubungi, Sabtu 13 Juni 2020.
Wahyu mengatakan tidak menutup kemungkinan data-data itu digunakan oleh pihak ketiga untuk kepentingannya, tanpa ada izin dan sepengetahuan pemilik data. Penyalahgunaan itu bisa jadi masuknya iklan-iklan yang tidak diinginkan pemilik data, bahkan disalahgunakan untuk melakukan transaksi atas nama pemilik data kependudukan.
Kemendagri, ujar Wahyu, sebagai penanggungjawab dalam pengelolaan data kependudukan seharusnya memikirkan dampak-dampak tadi sebelum mengambil kebijakan kerjasama dengan 13 lembaga keuangan itu. Kasus-kasus peretasan data pribadi, seharusnya bisa dijadikan rujukan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | FIKRI ARIGI