TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, mengatakan saat ini masyarakat lebih khawatir terhadap kondisi perekonomian, ketimbang paparan virus. Dari hasil riset yang mereka lakukan, setidaknya ada lima alasan yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, meluasnya kisah sukses banyak negara dalam menghadapi pandemi ini. Beberapa negara seperti Selandia Baru hingga Korea Selatan banyak diberitakan secara masif telah mengendalikan virus ini dan teah melampaui puncak pandemi.
"Walau vaksin belum tersedia, contoh kongkret negara yang sukses itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus," ujar Rully dalam teleconference, Jumat, 12 Juni 2020.
Apalagi pemberitaan tersebut diiringi dengan berita bahwa kegiatan ekonomi di negara tersebut secara bertahap mulai hidup lagi. Hal ini membuat masyarakat Indonesia lebih memikirkan faktor ekonomi dan lebih abai terhadap virus.
Selanjutnya, adalah mulasnya kemampuan protokol kesehatan dalam mengurangi tingkat virus Corona. Rully mengatakan anjuran social distancing, cuci tangan, penggunaan masker sudah terpatri di masyarakat.
Walau vaksin belum ditemukan, Rully mengatakan hal ini membuat masyarakat berpikir manusia punya alat lain untuk melawan, untuk melindungi diri.
"Ditemukannya protokol kesehatan yang efektif ini juga mengurangi tingkat kecemasan. Tidaklah benar kita sama sekali tak berdaya menghadapi virus walau vaksin belum ditemukan," kata dia.
Faktor ketiga adalah tabungan ekonomi semakin menipis. Rully mengatakan semakin lama berlakunya lockdown, pembatasan sosial, ditutupnya aneka dunia usaha, maka akan semakin berkurang juga kemampuan ekonomi rumah tangga.
"Ini terutama dirasakan di lapisan menengah bawah, apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan kongkret," kata dia.
Berikutnya adalah terkait besaran dampak. Rully mengatakan jumlah warga yang secara kongkret terkena kesulitan ekonomi jauh melampaui jumlah warga yang terpapar virus Corona.
Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan jumlah PHK ditambah yang dirumahkan hingga bulan Juni 2020 sekitar 1,9 juta orang. Sementara Asosiasi Pengusaha Indonesia, melaporkan jumlah yang lebih banyak lagi karena juga menghitung sektor informal.
"Dengan kata lain, yang terpapar virus ekonomi 200 kali lebih banyak dibandingkan yang terpapar virus corona. Wajar saja jika kecemasan atas kesulitan ekonomi memang lebih massif, lebih dirasakan banyak orang," kata Rully.
Faktor terakhir adalah semakin menurunnya grafik pasien meninggal. Sebaliknya, grafik kesulitan ekonomi, diukur dari yang di-PHK, terus bertambah dari bulan ke bulan. Grafik ini ikut juga membuat kecemasan atas terpapar virus Corona melemah, sementara kecemasan atas virus ekonomi meninggi.