TEMPO.CO, Jakarta - Penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Novel Baswedan mengatakan banyak kejanggalan dalam proses persidangan kasus penyiraman air keras terhadapnya. Banyak saksi penting dalam kasus itu tidak dihadirkan dalam sidang.
“Aneh bagi saya, saksi penting tidak masuk dalam berkas perkara,” kata Novel dalam diskusi daring Indonesia Corruption Watch, Senin, 18 Mei 2020.
Novel mengatakan para saksi itu mengetahui bahwa ada dua orang yang secara rutin mengamati kediamannya selama dua pekan sebelum kejadian. Para saksi itu juga ada di tempat kejadian perkara saat penyiraman air keras terjadi pada 11 April 2017. Majalah Tempo menyebut sedikitnya ada tiga saksi yang melihat orang-orang mencurigakan mengamati rumah Novel jauh hari sebelum kejadian. Mereka sudah diperiksa polisi, tapi tidak dipanggil ke sidang.
Menurut Novel, keterangan para saksi penting untuk mengungkapkan bahwa penyerangan terhadapnya dilakukan dengan sangat terencana. Bukan secara spontan dan dilakukan atas motif dendam pribadi seperti dalam surat dakwaan jaksa untuk dua anggota Brimob yang menjadi terdakwa, Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis.
Dalam dakwaan disebutkan, Rahmat mulai mengintai kediaman Novel tiga hari sebelum kejadian. Rahmat baru mengajak Ronny Bugis pergi ke sekitar rumah Novel pada hari penyerangan. Dibonceng Ronny, Rahmat menyiram air keras yang ia persiapkan ke wajah Novel. Akibat penyerangan itu, mata Novel rusak permanen.
Berkas persidangan menyebutkan jaksa hanya akan mendatangkan 22 saksi. Mereka yang dipanggil adalah orang-orang yang mengetahui peristiwa saat dan setelah kejadian. Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan KorbanTindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menilai saksi yang dipanggil tak akan bisa merangkai peristiwa secara utuh.
Menurut dia, keterangan saksi yang mengetahui kejadian sebelum penyerangan penting digali untuk membuktikan bahwa penyerangan dilakukan secara sistematis dan terdapat dalang di baliknya.
Novel Baswedan menilai jaksa maupun hakim tidak serius mengejar fakta dalam kasus ini. “Hakim harus berani mengejar fakta di tengah keraguan publik,” ujar dia.
MAJALAH TEMPO