TEMPO.CO, Jakarta - Gugatan Amien Rais dkk terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 atau Perpu Covid-19 menyinggung soal DPR yang masih membahas omnibus law Racangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja di tengah pandemi.
Menurut para penggugat, tindakan DPR yang masih membahas rancangan UU tersebut menandakan bahwa tidak ada kegentingan memaksa yang menjadi syarat keluarnya Perpu.
“Alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perpu ini, sebab DPR masih bersidang belum masuk masa reses, bahkan hari ini masih membahas RUU Cipta Kerja dan pemindahan Ibu Kota negara. Artinya pemegang kekuasaan pembentuk UU masih berfungsi menjalankan tugasnya,” kata kuasa hukum pemohon, Ahmad Yani, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Selasa, 28 April 2020.
Menurut Yani, MK dalam putusan nomor 138/PUU|VII/2009 menyebutkan 3 syarat terbitnya Perpu. Pertama kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.
Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada UU tetapi tidak memadai. Ketiga, kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedural biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama.
Yani mengatakan keluarnya Perpu tidak memenuhi ketiga syarat itu. Sebab, Perpu Covid-19 justru lebih banyak mengatur masalah keuangan. Sementara, kata dia, masalah anggaran seharusnya diatur dalam APBN, bukan Perpu. “Bukan hanya tidak boleh, tapi haram, seharusnya direvisi melalui APBN-Perubahan,” kata dia.
Amien Rais, mengajukan gugatan Perpu Covid-19 ke MK bersama Din Syamsuddin dan Sri Edi Swasonno. Amien cs mempersoalkan tiga pasa, yaitu Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 1, 2, 3;Pasal 27 dan Pasal 28. Pemohon meminta ketiga pasal ini dibatalkan karena bertentangan dengan konstitusi dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat.