TEMPO.CO, Jakarta - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam memiliki beberapa catatan terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Skala Besar dalam rangka percepatan penanganan Covid-19. PP ini diteken Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada Selasa, 31 Maret 2020.
Salah satu poin yang dikritik Anam adalah pasal 4 ayat 3 PP yang berbunyi; Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c (pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum) dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
"Frasa 'memperhatikan' lebih tepat jika diganti dengan 'menjamin' pemenuhan kebutuhan dasar penduduk," ujar Anam saat dihubungi Tempo pada Selasa malam, 31 Maret 2020.
Anam menyebut, frasa 'menjamin' ini penting disematkan agar memberi kepastian bahwa pemerintah pasti memenuhi kebutuhan dasar penduduk bagi daerah yang mengajukan pemberlakuan PSBB. Jika tidak ada jaminan ini, kata Anam, pemerintah pusat dan daerah bisa saling mengunci yang ujung-ujungnya membuat penanganan Covid-19 tidak maksimal.
Sebagai contoh, kata Anam, pemerintah daerah yang mengajukan PSBB memberikan rincian biaya kebutuhan pokok yang jumlahnya besar. Namun, pusat tidak bisa membantu membiayai. Maka, kebijakan pembatasan sosial skala besar bisa tertahan karena keterbatasan dana.
"Ini bisa saling mengunci. Di satu sisi kebijakan PSBB harus dilakukan, di sisi lain biaya kebutuhan pokok dasar yang harus dipenuhi. Kalau demikian jadinya, maka penanganan Covid-19 tidak akan maksimal," ujar Anam.
Adapun Presiden Jokowi telah menambah alokasi belanja dan pembiayaan dalam APBN 2020 sebesar Rp 405,1 triliun untuk menangani Covid-19. Alokasi dana itu tercantum dalam Perppu Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan yang dikeluarkan berbarengan dengan PP PSBB.
Jokowi merinci anggaran sebesar Rp150 Triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk UMKM dan dunia usaha menjaga daya tahan dan pemulihan ekonomi.
Kemudian, sebesar Rp 75 Triliun untuk bidang kesehatan meliputi perlindungan tenaga kesehatan, pembelian alat kesehatan, perbaikan fasilitas kesehatan, dan insentif dokter. Berikutnya, sebesar Rp 110 Triliun untuk jaring pengaman sosial (Social Safety Net) yang mencakup penambahan anggaran kartu sembako, kartu prakerja, dan subsidi listrik. Sisanya, Rp 70,1 Triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus KUR.
Sebelum stimulus ketiga ini, pemerintah telah mengeluarkan anggaran untuk stimulus kebijakan pertama sebesar Rp 10,3 triliun dan stimulus kedua Rp 22,9 triliun serta pelenaran defisit 0,8 persen dari Produk Domestik Bruto atau sekitar Rp 125 triliun.
Dengan begitu, pemerintah secara total telah menyalurkan dana hingga sekitar Rp 563,3 triliun untuk memerangi pandemi Corona.
Selain itu, Jokowi sudah memerintahkan daerah untuk melakukan pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing), perubahan alokasi, dan penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk membantu beban biaya penanganan pasien yang terpapar virus Corona atau COVID-19. Saat ini, semua daerah maupun kementerian/lembaga masih menghitung dana yang bisa digeser untuk menangani Corona.