TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana, mengatakan terjadi kelangkaan stok obat antiretroviral (ARV) untuk pengidap HIV/AIDS di 40 kabupaten dan kota di Indonesia.
"Sejak gagal tender 2018, bisa dibilang pemerintah enggak pernah berhasil eksekusi uang yang dialokasikan untuk pembelian ARV secara penuh," kaya Aditya kepada Tempo pada Sabtu, 7 Maret 2020. "Jadi belinya sedikit-sedikit. Bahkan dibantu sama donor international global fund untuk melakukan emergency procurement."
Aditya menjelaskan, pemerintah telah menyediakan anggaran sebesar Rp 650 miliar di 2019. Namun, yang tereksekusi hanya Rp 40 miliar. Sisanya, kata Aditya, tidak digunakan karena sempat terjadi proses pembenahan administrasi yang berlarut-larut.
"Mengenai masalah e-catalog itu, apakah dikelola Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) atau dikelola Kementerian Kesehatan," katanya.
Sebagai informasi, sebelumnya pengadaan barang dan jasa melalui e-catalog semua dikelola oleh LKPP. Namun sejak 2019, terbit surat edaran bersama antara Kementerian Kesehatan, LKPP, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menempatkan e-catalog menjadi ranah kerja sektoral Kemenkes.
"Baru mereka bersiap-siap untuk mengatur e-catalog sektoral ini, menterinya ganti. Menteri Kesehatan Terawan enggak mau ini ada di Kemenkes. Dikembalikan lagi ke LKPP. Jadi hampir 6 bulan proses administrasi bolak-balik menyebabkan uang APBN enggak bisa dibelanjakan," katanya.
Aditya menegaskan, mereka kini menuntut agar Pemerintah segera meninjau ulang dan mengambil langkah cepat dalam menyediakan obat sampai tingkat layanan. "Uang sudah tersedia, beberapa obat sudah masuk e-katalog ya langsung belanjakan saja," katanya.
Selain itu, Aditya juga menuntut agar Terawan mengevaluasi sistem kerja dan pelaksana dari prosss pengadaan obat ARV. "Kenapa sampai berlarut-larut dan menyebabkan kekosongan stok?" ujarnya.