TEMPO CO, Jakarta - Kementerian Sekretariat Negara sudah dua kali memberikan catatan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian ihwal draf omnibus law Rancangan Undang-undang Cipta Kerja.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono mengatakan dua catatan yang diberi Kemensetneg itu disampaikan sebelum draf RUU Cipta Kerja diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
"Stafsus Presiden dan Deputi Perundang-undangan Setneg sempat melakukan review dan memberikan catatan/masukan ke tim Kemenko," kata Dini kepada Tempo, Kamis malam, 20 Februari 2020.
Catatan dari Stafsus dan Setneg itu disusun dalam bentuk matriks yang disampaikan kepada Kemenko Perekonomian. Dalam salah satu dokumen matriks yang diterima Tempo, Setneg memberikan catatan terhadap pasal-pasal yang diubah dari 28 Undang-undang, norma umum dan lain-lain.
Setneg juga menyoroti pasal dalam draf omnibus law yang ingin mengatur bahwa pemerintah bisa mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP). Dalam draf yang diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat, ketentuan ini tertuang dalam Pasal 170. Namun merujuk dokumen matriks, ketentuan itu ada dalam Pasal 167.
Pasal 167 ini berbunyi persis seperti Pasal 170. Pada ayat 1 tertulis "Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta lapangan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, berdasarkan Undang-undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-undang ini dan/atau Undang-undang lain yang tidak diubah dalam Undang-undang ini."
Kemudian dalam ayat 2 tercantum, "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah". Adapun ayat 3 memuat ketentuan bahwa "Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat 2, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat".
Adapun dalam catatannya, Setneg menyatakan rumusan itu bertentangan dengan Pasal 20 ayat 2 dan Pasal 5 UUD 1945. Pasal 20 ayat 2 menyatakan: (1) DPR memegang kekuasaan membentuk UU, (2) Setiap rancangan UU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, (3) Jika rancangan UU itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan UU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Kemudian (4), Presiden mengesahkan rancangan UU yang telah disetujui bersama untuk menjadi UU, dan (5) Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak disetujui, RUU itu sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Adapun Pasal 5 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR dan Presiden menetapkan PP untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Tempo mengirimkan salinan matriks catatan ini kepada Dini Purwono, tetapi dia mengaku belum dapat mengonfirmasi.
"Kalau untuk pastinya saya harus tanya Deputi PUU Setneg ya apakah betul ini matriks yang disampaikan," ujar politikus Partai Solidaritas Indonesia ini.
Ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan Jumat, 21 Februari kemarin, Dini membenarkan Setneg sudah memberi catatan ihwal rumusan pasal 170 itu. Dia pun sependapat rumusan itu bermasalah secara hukum.
"(Pasal) 170 kami cek lagi sebenarnya sudah ada catatan dari Setneg. Ada dalam catatan (bahwa itu bermasalah secara hukum)," ujar Dini.
Meski begitu, Dini enggan menyebut Kemenko Perekonomian yang menjadi leading sector pembahasan omnibus law RUU Cipta Kerja abai terhadap catatan itu. Dia menduga Kemenko yang digawangi Airlangga Hartarto itu berfokus pada isu-isu lain yang keburu ramai di publik, seperti isu lingkungan, ketenagarkerjaan, dan pemerintahan daerah.
"Mungkin bukan mengabaikan kali ya, buru-buru. Waktunya udah mepet, keterbatasan waktu," kata Dini.
Tempo berusaha mengonfirmasi catatan ini ke Sekretaris Kemenko Perekonomian Susiwijono, Ketua Tim Satgas Omnibus Law Rosan Roeslani, dan Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik, Hukum dan Keamanan Kemenko Perekonomian Elen Setiadi, tetapi tak direspons. Susiwijono dan Rosan hanya membaca pesan Whatsapp dari Tempo.
Direktur Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari menilai janggal pasal 170 itu tetap ada dalam draf yang diserahkan kepada DPR padahal sudah ada catatan dari Setneg. "Bagi saya aneh saja ya, kalau dari Istana memberika catatan dan disetujui oleh Presiden, kenapa tidak dipatuhi?" kata Feri kepada Tempo, Jumat, 21 Februari 2020.
Feri menduga ada tiga kemungkinan menyangkut ini. Pertama, Kemenko Perekonomian lalai sehingga tak mengubah rumusan pasal sesuai saran Setneg. Kedua, sengaja ada pengabaian dari Kemenko Perekonomian karena kepentingan tertentu.
Ketiga, ada komunikasi berbeda antara Presiden Joko Widodo dan Setneg serta Jokowi dan Kemenko Perekonomian. "Kalau presiden betul-betul menginginkan tidak ada pasal 170 lalu pasal itu masih bertahan bagi saya agak nekat ya Kemenko Perekonomiannya," ujar Feri.
EGI ADYATAMA