TEMPO.CO, Jakarta - Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives atau CISDI menolak industri rokok terlibat dalam pelaksanaan Indonesia Millennial Summit 2020.
Acara ini diselenggarakan oleh IDN Times pada 17-18 Januari 2020 di Dharmawangsa, Jakarta Selatan.
CISDI menilai pelibatan PT. Djarum dalam acara Indonesia Millennial Summit 2020 membuktikan penetrasi industri rokok masih dianggap sebagai hal yang lumrah.
Ini melanggar Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012. Ini juga dianggap bertolak belakang dengan upaya menurunkan angka perokok anak di mana angkanya terus meningkat dari 7,2% di 2013 menjadi 9,1% di 2018.
“Kami dengan sangat tegas menolak keterlibatan industri rokok dalam forum ini mengingat sponsorship industri rokok memiliki agenda utama untuk mempromosikan produk-produk rokok kepada kaum muda," ujar peneliti CISDI, Nurul Luntungan, melalui siaran pers pada Jumat 17 Januari 2020.
Nurul mengatakan terlebih lagi, logo industri itu terpampang jelas di media promosi seperti Instagram dan tidak menerapkan batasan usia. Sehingga, ini memungkinkan anak di bawah usia 18 tahun melihat logo itu. "Hal ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012."
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012 mengatur pelarangan iklan, promosi, dan sponsor industri tembakau (TAPS-BAN).
Secara spesifik, Pasal 35 Ayat 2 mengatur promosi produk tembakau tidak menggunakan logo dan/atau produk tembakau pada kegiatan lembaga dan/atau perseorangan. Namun, pengawasan dan penerapan kebijakan ini masih longgar.
Nurul menjelaskan hingga kini dunia terus berkomitmen mendorong implementasi Framework Convention of Tobacco Control atau FCTC. Sedikitnya 181 negara sudah meratifikasi FCTC, di mana salah satu kesepakatannya adalah melarang iklan, promosi, dan sponsor industri tembakau.
Ironisnya, Indonesia sebagai salah satu pencetus FCTC, belum menandatangani manifesto itu. Namun, pernyataan sikap beberapa figur publik terhadap situasi ini layak diapresiasi.
Beberapa figur publik seperti Walikota Bogor, Bima Arya, mengundurkan diri sebagai pembicara. Salah satu alasan yang dikemukakan termasuk soal sponsor industri tembakau.
Menurut Nurul, diperlukan lebih banyak figur publik seperti Bima Arya yang berkomitmen untuk menolak menjadi bagian dari promosi rokok khususnya pada anak-anak.
"Pada acara yang melibatkan kelompok usia di bawah 18 tahun, sponsor industri tembakau mendorong terciptanya branding positif pada konsumsi rokok. Ini yang membuat sponsor rokok menjadi lebih berbahaya bagi anak-anak,” ujar Nurul.
Dia juga menyebut Dartmouth Institute of Public Health mencatat orang yang terekspos iklan dan pesan konsumsi rokok memiliki 11,9% kecenderungan mengonsumsi rokok.
Jika masyarakat kelompok usia di bawah 18 tahun terekspos iklan industri rokok secara konsisten, hal ini memicu meningkatnya jumlah perokok anak, semakin mudanya usia perokok anak, serta penurunan kualitas SDM yang saat ini tengah menjadi prioritas pemerintah.
Nurul mengatakan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN juga sudah secara jelas menargetkan penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% pada tahun 2024. Namun, ada indikasi peningkatan konsumsi tembakau pada kelompok usia 10-14 tahun mencapai 12 kali lipat pada tahun 2013.
"Jika industri tembakau masih terus dilibatkan dalam forum dialog kepemudaan, target RPJMN terancam gagal dan target prioritas pemerintah untuk memastikan peningkatan kualitas dan produktivitas sumber daya manusia tidak tercapai,” kata Nurul.
HALIDA BUNGA FISANDRA