TEMPO.CO, Jakarta - Randi dan Yusuf, dua mahasiswa yang tewas saat aksi unjuk rasa menolak revisi UU KPK di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Tenggara, kini diabadikan menjadi nama ruangan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Untuk mengenal KPK, maka kita harus mengenal ruangan ini," ujar Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Laode M Syarief, saat meresmikan ruangan tersebut pada Kamis, 19 Desember 2019.
La Randi dan Muhammad Yusuf Kardawi merupakan mahasiswa Universitas Halu Oleo yang tewas tertembak oleh anggota polisi ketika sedang berunjuk rasa mendesak pemerintah untuk membatalkan revisi Undang-Undang KPK dan RKHUP pada 26 September 2019.
Revisi UU KPK yang disahkan pada 17 September 2019 itu menjadi salah satu persoalan yang menarik perhatian publik di sepanjang tahun ini. Pengesahan UU itu memantik gelombang unjuk rasa beragam kalangan, termasuk mahasiswa di berbagai daerah. Bahkan, ratusan pelajar Sekolah Tinggi Menengah (STM) ikut menggelar unjuk rasa.
Aksi yang semula hanya berlangsung di Jakarta, kemudian menular ke sejumlah wilayah, seperti Bandung, Semarang, DI Yogyakarta, Malang, Makassar, Kendari, hingga daerah lainnya. Buntut dari serangkaian aksi penolakan revisi UU KPK itu adalah tewasnya lima mahasiswa.
Dalam aksi itu, mereka mendesak agar pemerintah membatalkan revisi tersebut, dan meminta Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu KPK. Para mahasiswa dan masyarakat sipil menilai berbagai pasal dalam revisi UU KPK melemahkan kinerja lembaga anti rasuah itu.
Dari catatan KPK, ada 26 poin yang bakal melemahkan kinerja KPK. Salah satunya adalah pelemahan independensi dengan meletakkan KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif. Pegawai KPK juga beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dianggap berisiko terhadap proses mutasi pegawai saat menjalankan tugas.
Lalu, poin lain yang ditolak adanya Dewan Pengawas KPK. Keberadaan Dewas KPK dinilai melampaui kewenangan pimpinan KPK. Sebab, dalam UU KPK yang baru dijelaskan tugas Dewas yakni memberikan atau tidak memberikan izin penyadapan, pengggeledahan, dan penyitaan.
Hal itu yang kemudian juga diyakini akan menghambat kinerja penyidik karena harus meminta izin dulu sebelum melakukan penindakan. Prosesnya pun berlapis, yakni dari penyelidik ke Kepala Satuan Tugas, kemudian ke direktur penyelidikan, lanjut ke deputi penindakan, pimpinan, hingga ke Dewas KPK.
Aturan lain yang dianggap menghambat penindakan di KPK adalah kewenangan Operasi Tangkap Tangan (OTT). Pasal 6 huruf a UU KPK yang baru menjelaskan tugas KPK untuk melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi tindak pidana korupsi. Beleid itu berisiko disalahartikan seolah KPK tak boleh lagi melakukan OTT.
Kemudian soal penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi perkara yang sudah berjalan dua tahun. Aturan ini dianggap menyulitkan KPK untuk menangani kasus korupsi besar seperti proyek e-KTP, BLBI, Pelindo, dan sejumlah kasus lain.
Namun, aksi penolakan itu rupanya tak respons positif pemerintah. Presiden Joko Widodo atau Jokowi secara tegas mengatakan tidak akan mengeluarkan Perpu KPK.
"Tidak ada dong. Kan perpu tidak diperlukan lagi. Sudah ada undang-undang, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019. Tidak diperlukan lagi perpu," kata Juru bicara Istana Kepresidenan Fadjroel Rachman di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat, 29 November 2019.
Keputusan Jokowi menolak mengeluarkan Perpu KPK dilakukan setelah uji materi UU KPK yang diajukan oleh 190 mahasiswa dan masyarakat umum ke Mahkamah Konstitusi tidak dipertimbangkan lebih lanjut.
MK mengatakan permohonan baru para pemohon mengenai pengujian UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2009 tentang KPK adalah salah obyek atau error.
Perkara bernomor 57/PUU-XVII/2019 diajukan pada 30 September 2019 oleh 190 orang pemohon antara lain atas nama Muhammad Raditio Jati Utomo, Deddy Rizaldy Arwin Gommo, dan Putrida Sihombing. Mereka menggugat uji formil UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan uji materil Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Bab VA, Pasal 40 ayat (2), Pasal 47, Pasal 69A dan Pasal 69D Perubahan Kedua UU KPK.
Para pemohon dalam tuntutannya meminta MK untuk memerintahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden Jokowi memberhentikan pelantikan anggota KPK, kemudian menyatakan proses pembentukan UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Serta menyatakan Pasal 12B, Pasal 12C, Pasal 21 ayat (1) huruf a, Bab VA, Pasal 40 ayat (2), Pasal 47, Pasal 69A dan Pasal 69D Perubahan Kedua UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bukan cuma mahasiswa, protes atas revisi UU KPK juga ditunjukan pegawai lembaga antirasuah tersebut. Sebanyak 12 pegawai KPK mengundurkan diri. "Sampai hari ini sudah ada 12. Mudah-mudahan jangan tambah lagi lah yang mau keluar," kata Wakil Ketua KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang pada 12 Desember 2019.
Pesimisme pun muncul setelah UU KPK hasil revisi disahkan. Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menyebut pemberantasan korupsi saat ini telah masuk ke dalam fase kehancuran.
"Bukan lagi suram. Tapi fase kehancuran KPK adalah pasca pengesehan UU KPK baru, pelantikan pimpinan KPK dan Dewan Pengawas," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana saat dihubungi pada Ahad, 22 Desember 2019.
ANDITA RAHMA | M. ROSSENO AJI | FRISKI RIANA