TEMPO.CO, Jakarta - Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan membeberkan fakta menarik soal implementasi Undang-Undang Desa, termasuk penggunaan dana desa dan badan usaha milik desa (BUMDes).
Menurut dia, temuan itu berbeda dengan klaim Kementerian Desa, PDTT dan Kementerian Dalam Negeri terhadap capaian atas pelaksanaan UU Desa yang fantastis.
“Transparansi anggaran desa belum berkualitas," kata Misbah dalam keterangan tertulis Sabtu 21 Desember 2019.
Temuan ini hasil riset dan observasi di 33 desa dampingan yang tersebar di 11 kabupaten dan enam provinsi.
Kabupaten-kabupaten tersebut adalah Kabupaten Bima dan Lombok Utara, Provinsi NTB; Kabupaten Pangkep dan Bantaeng, Provinsi Sulawesi Selatan; Kabupaten Pemalang, Brebes, dan Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah; Kabupaten Trenggalek, Lumajang, Bondowoso, Provinsi Jawa Timur; dan Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh.
Menurut Misbah, sebagian besar desa masih enggan mempublikasikan anggaran desa masing-masing.
Website desa dan baliho APBDesa juga kurang informatif karena sebatas berisi ringkasan. "Belum dijadikan bahan acuan perencanaan dan penganggaran dalam musyawarah desa."
Ada pula kabupaten/kota yang menerbitkan perbup atau perwali tentang Daftar Kewenangan Desa.
Dari 74.957 desa, Misbah mengungkapkan, baru sekitar 20 persen pemerintah kabupaten/kota yang sudah menerbitkan perbup dan perwali tentag Daftar Kewenangan Desa.
Dia menilai kondisi itu menghambat azas rekognisi dan subsidiaritas yang dimiliki desa.
Faktanya desa masih banyak bergantung kepada supra desa dalam menentukan kewenangannya. Supra desa adalah pemda dan kementerian terkait.
Fitra juga melihat sempitnya diskresi fiskal dan inovasi desa dan perbup/perwali tentang Penggunaan Anggaran Desa (DD dan ADD) banyak yang sudah diplot oleh supra desa.
Itu membuat program prioritas hasil musyawarah desa tak bisa dilaksanakan.
Misbah lantas menjelaskan disharmoni regulasi pengelolaan keuangan desa. Permendesa Nomor 16 Tahun 2018 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa 2019 tidak sinkron dengan Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa terutama mengenai nomenklatur Bidang, Sub Bidang, dan Kegiatan.
“Sehingga berpotensi dianggap penyimpangan pada saat audit,” tutur Misbah.
Temuan lainnya adalah 1.670 dari 2.188 BUMDes yang tidak berjalan tapi tetap mendapat kucuran anggaran dari APBDesa.
Anggaran untuk BUMDesa adalah ‘penyertaan modal’ bukan belanja yang habis pakai. Dana itu piutang bagi pengelola BUMDesa kepada desa yang harus dipertanggungjawabkan penggunaannya.
Pemerintah telah menggelontorkan anggaran Dana Desa dari APBN mencapai Rp. 257,7 triliun sepanjang 2015-2019. Hingga saat ini sudah ada 1.371 pelaporan pengaduan kasus dana desa, tapi baru 252 kasus korupsi dana desa yang diputus di pengadilan.
Kasus korupsi dana desa, Misbah mengungkapkan, melibatkan 214 tersangka kepala desa dengan kerugian negara sekitar Rp 107,7 miliar.
Adapun fungsi Badan Peraturan Desa (BPD) di banyak desa masih tumpul karena tidak pernah diberi penguatan kapasitas. Bahkan perannya cenderung dilangkahi oleh aparat penegak hukum dalam melakukan pengawasan penggunaan APBDesa.
FIKRI ARIGI