TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat politik Rocky Gerung mengaku khawatir bila sikap kritis dan keinginan mengevaluasi Pancasila hilang, Indonesia tak bisa berkompetisi dengan dunia yang berubah. Hilangnya sikap kritis, kata dia, bisa menutup potensi manusia Indonesia mencari alternatif.
"Dunia ini liquid sekali. Jadi kalau sinopsisnya Pancasila final, kita takut untuk mengintip kemungkinan lain dalam dunia yang sedang berkembang. Karena, waduh kalau kita intip, Pancasila enggak jadi final," kata Rocky kepada Tempo di kawasan Kemang, Jakarta, pada Rabu, 4 Desember 2019.
Rocky menyebut saat ini terjadi paradoks. Pemerintah menginginkan inovasi, tapi kekuasaan tidak ingin orang berpikir alternatif selain Pancasila. Di sejumlah seminar Pancasila, tak ada pembahasan mengenai isu lingkungan, feminisme, kesetaraan gender, maupun hak-hak difabel.
"Itu enggak ada. Semua sibuk dengan antiradikalisme, maka terapinya Pancasila. Radikalisme itu disebabkan krisis ekonomi. Terapinya, naikkan 7 persen pertumbuhan ekonomi, baru orang enggak radikal. Kalau orang perut lapar, disuruh berdoa? Disuruh musyawarah mufakat?" ujarnya.
Rocky menyebut, ketika pemerintah gagal menegakkan keadilan, banyak pihak yang menggunakan narasi jati diri bangsa, nasionalisme, hingga NKRI harga mati. Menurutnya, kontradiksi itu sudah dibaca oleh negara tetangga seperti Cina dan Malaysia.
"Indonesia itu kalau dicari di Google yang keluar adalah kepentingan, keutuhan, jati diri bangsa. Sistem internasional terbuka, kita enggak bisa tutup pikiran internasional. Sehingga disinggung, diledek negara, kita cemberut," kata Rocky Gerung.