TEMPO.CO, Jakarta-Polemik perpanjangan izin organisasi Front Pembela Islam (FPI) tak kunjung rampung. FPI pun meradang karena perpanjangan izin mereka terus ditunda. Juru bicara FPI Slamet Maa'rif menduga urusan perpanjangan izin ini menjadi politis.
"Justru kalau ternyata dihambat, jadi mandek, kami mencurigai ini jadi urusan politis," kata Slamet di kawasan Senen, Jakarta Pusat, Jumat, 29 November 2019.
Slamet mempersoalkan tak kunjung dikeluarkannya izin perpanjangan oleh Kementerian Dalam Negeri. Padahal, Kementerian Agama sudah mengeluarkan rekomendasi untuk perpanjangan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) FPI.
Izin FPI sebenarnya sudah habis sejak Juni lalu. Namun Menteri Dalam Negeri saat itu, Tjahjo Kumolo, mengatakan izin perpanjangan tak bisa diterbitkan lantaran ada sepuluh syarat yang belum dipenuhi.
Pada 27 November lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md memanggil Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Fachrul Razi untuk rapat membahas kelanjutan izin FPI ini.
Keesokan harinya, Kementerian Agama menyatakan telah mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin FPI. Sekretaris Jenderal Kemenag M Nur Kholis mengatakan FPI sudah memenuhi persyaratan permohonan rekoemendasi organisasi kemasyarakatan yang diatur dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 14 Tahun 2019.
Salah satu persyaratan itu ialah pernyataan setia kepada NKRI, Pancasila, dan UUD 1945, serta tidak melakukan perbuatan yang melanggar hukum. "Surat pernyataan kesetiaan tersebut sudah dibuat FPI di atas materai," kata Nur Kholis lewat keterangan tertulis, Kamis, 28 November 2019.
Namun sejumlah pihak menilai pernyataan setia di atas materai ini belum cukup. Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Junimart Girsang, dalam rapat kerja dengan Mendagri Tito pada Kamis lalu mengatakan, bukan surat tersebut yang akan menjadi landasan FPI, melainkan AD/ART organisasi itu sendiri.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menyoal Pasal 6 AD/ART FPI yang berbunyi "Visi dan misi FPI adalah penerapan syariat Islam secara kafah di bahwa naungan khilafah Islamiah menurut manhaj nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad."
Meski Menteri Agama Fachrul Razi sudah mengeluarkan rekomendasi, Junimart meminta Tito menimbang betul persoalan ini. "Saya sampaikan dalam forum terhormat ini supaya jadi perhatian Pak Mendagri," ujarnya.
Tito pun mengakui Pasal 6 AD/ART FPI itu memunculkan pertanyaan karena dinilai agak kabur. Maka dari itu, kata Tito, pasal tersebut dikaji oleh Kementerian Agama yang dianggapnya lebih paham.
Mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia itu menyinggung kata 'khilafah' yang sensitif di Indonesia. Dia juga mempertanyakan apakah khilafah itu bermakna teologis atau sistem negara. "Kalau sistem negara bertentangan dengan prinsip NKRI ini," ujarnya.
Dia juga menerangkan bahwa tak ada masalah dengan pelaksanaan dakwah. Namun menyangkut penegakan hisbah, Tito mengatakan prinsip ini semacam amar ma'ruf nahi mungkar atau perintah untuk mengajak atau menganjurkan hal-hal yang baik dan mencegah hal-hal yang buruk bagi masyarakat.
Dalam praktiknya, menurut Tito, hal ini sering berujung pada tindakan main hakim sendiri. Dia mencontohkan adanya sweeping atribut Natal, perusakan tempat hiburan, dan sebagainya. "Ini perlu diklarifikasi, karena bertentangan dengan sistem hukum Indonesia. Tidak boleh ormas melakukan penegkan hukum sendiri," kata dia.
Ditemui wartawan seusai rapat kerja, Tito tak menjawab ihwal sikap Kemenag yang sudah mengeluarkan rekomendasi perpanjangan izin SKT FPI. Seusai mengetahui pernyataan Tito, Menag Fachrul Razi berjanji melakukan kesepakatan lagi dengan FPI bila rekomendasinya itu masih diragukan.
"Kami coba deal dengan dia (FPI). Mendagri mengatakan ada poin-poin yang masih diragukan, ya, kita deal saja dengan dia," kata Fachrul di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 November 2019.
Adapun Menkopolhukam Mahfud Md hanya mengamini pernyataan Tito saat ditanya ihwal perpanjangan izin FPI ini. "Ya itu pengumumannya begitu," kata Mahfud kepada wartawan di Universitas Trisakti, Jakarta Barat, Jumat, 29 November 2019.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | FIKRI ARIGI | DEWI NURITA