TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung mengacuhkan berbagai protes atas kebijakan larangan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT mendaftar calon pegawai negeri sipil (CPNS) di institusi itu.
Bahkan, Kejaksaan akan mengerahkan tim medis dan psikokologi untuk mengecek apakah para CPNS itu merupakan kelompok orientasi seksual berbeda.
"Nanti untuk urusan itu, kami serahkan kepada tim medis dan tim psikologi," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Mukri saat dikonfirmasi, Selasa, 26 November 2019.
Sebab, kata Mukri, berpedoman pada norma agama, bahwa semua agama di Indonesia belum ada yang menerima seseorang dengan orientasi seksual berbeda. Sehingga hingga kini hal tersebut masih menjadi pro dan kontra.
"Hal ini sesuai dengan pancasila. Kami berharap dan ingin melakukan seleksi ini secara akurat untuk mendapat calon jaksa yang tangguh, perkasa, profesional, dan akuntabel," kata Mukri.
Sebelumnya Kejaksaan Agung sudah menegaskan bahwa CPNS yang melamar tidak memiliki orientasi seksual yang berbeda. Mukri mengatakan, pihaknya ingin pelamar CPNS Kejagung adalah orang-orang yang normal dan wajar.
"Artinya, kita kan ingin yang normal-normal lah, wajar-wajar. Kita tidak mau yang aneh-aneh. Supaya mengarahkannya tidak ada yang ya gitulah," kata Mukri di kantornya pada Kamis, 21 November 2019.
Komnas HAM merespons itu. Mereka melayangkan surat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk meminta klarifikasi dan pembatalan persyaratan penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil atau CPNS.
Hal itu dilakukan karena Komnas HAM menilai persyaratan diskriminatif Kejaksaan Agung RI terhadap kelompok LGBT dan identitas gender telah melanggar hak atas pekerjaan.
"Komnas HAM menilai persyaratan khusus pada lima jabatan dengan seluruh formasinya, bertentangan dengan prinsip dan nilai hak asasi manusia yang terkandung dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Beka Ulung Hapsara, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM melalui siaran pers pada Senin, 25 November 2019.
ANDITA RAHMA | HALIDA BUNGA