TEMPO.CO, Jakarta - Upacara leluhur lintas agama untuk Ki Ageng Mangir di Dusun Mangir Lor, Desa Mangir, Kecamatan Pajangan, Bantul, Yogyakarta dibubarkan oleh polisi dan warga sekitar pada Selasa, 12 November 2019.
Warga Dusun Mangir dan polisi yang jumlahnya puluhan mendatangi rumah Ketua Paguyuban Padma Buwana, Utiek Suprapti tempat acara berlangsung. Mereka kemudian membubarkan acara yang dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai daerah dan latar belakang agama pada pukul 15.30 WIB.
Sekelompok orang yang datang itu berdiri di depan rumah Utiek. Mereka menghadang puluhan peserta upacara dan berteriak bubar kepada peserta upacara untuk mengenang wafatnya Ki Ageng Mangir itu. “Polisi menganggap kegiatan kami tidak berizin, dan meminta kami membatalkan karena ada warga yang keberatan,” kata Utiek.
Menurut Utiek, sehari sebelum acara berlangsung, ia dipanggil oleh
Kapolsek Pajangan Ajun Komisaris Sri Basariah.
Menurut Utiek, ia diminta membatalkan acara tersebut oleh Kapolsek Sri Basariah dengan alasan sejumlah warga dusun keberatan.
Utiek hirau dengan imbauan itu dan tetap menggelar acara yang mengundang 50 orang dari berbagai daerah. Adapun peserta upacara datang dengan latar belakang agama yang beragam. Ada Katolik, Hindu, Budha. Sebagian berasal dari Kediri, Jambi, dan Jakarta. Ada juga penganut kepercayaan Sunda Wiwitan.
Utiek beralasan, acara ini tetap ia gelar lantaran sudah membuat surat pemberitahuan ihwal acara tersebut. Ia mengatakan surat itu sudah mendapat tanda tangan kepala dusun setempat.
Pada Selasa pukul 14.00 berlangsung prosesi sembahyang mendoakan bumi agar subur dan tidak kekeringan.
Upacara tersebut dipimpin pemimpin agama Budha Tantrayana Kasogatan, Pandita Padma Wiradharma. Pada saat doa inilah, sepuluh warga dusun tersebut berteriak agar peserta upacara bubar. “Saya trauma. Selama ini Desa Mangir dikenal sebagai desa wisata spiritual. Tapi, ternyata tidak aman,” kata Pandita Padma.
Seluruh peserta terpaksa menghentikan upacara tersebut pukul 15.45. Padahal, prosesi upacara yang berlangsung di sanggar pamujaan di halaman rumah Utiek itu belum rampung. Setelah doa pemimpin agama sedianya berlangsung doa dari perwakilan Sunda Wiwitan dan Kerinci Minang Kuno, Jambi.
Di tempat pemujaan tersebut terdapat lingga dan yoni, simbol-simbol yang dipengaruhi Hindu. Di kanan kiri tempat pemujaan tersebut terdapat janur kuning. Sajian hasil bumi, di antaranya buah-buahan, sayur melengkapi upacara tersebut. Semua properti upacara tidak ada yang dirusak atau utuh.
Peserta dari Kediri yang beragama Katolik, Setiaji menyatakan kekecewaannya terhadap polisi yang kalah dengan desakan sejumlah warga dusun tersebut.
Tamu dengan beragam latar agama menurut dia datang untuk memenuhi undangan Utiek sebagai keturunan Ki Ageng Mangir. Tujuannya untuk mendoakan leluhur. “Tapi, warga mengusir sebagian tamu yang datang. Polisi membela warga yang berteriak-teriak,” kata dia.
Kepala Polisi Resor Bantul Ajun Komisaris Besar Polisi Wachyu Tri Budi Sulistiyono membantah polisi menghentikan upacara tersebut.
Polisi, menurut dia datang ke lokasi untuk mengamankan agar tidak terjadi konflik. Sejumlah warga dusun tersebut menurut Wachyu keberatan dan mempertanyakan izin acara tersebut. “Polisi tidak menghentikan. Kami hanya minta upacara dipercepat karena ada potensi kerawanan,” kata dia.