TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Dalam Negeri atau Mendagri Tito Karnavian menyatakan ingin mengkaji pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.
Menurut Tito, sistem politik pilkada langsung yang sudah berjalan selama 20 tahun belakangan ini perlu dievaluasi. Dia menuturkan sistem tersebut bermanfaat bagi partisipasi demokrasi, tetapi juga memiliki sisi negatif.
"Kita lihat mudaratnya juga ada, politik biaya tinggi. Kepala daerah kalau enggak punya Rp 30 miliar mau jadi bupati mana berani dia," kata Tito di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2019.
Saat ditanya usulan apa yang dia punya, Tito mengatakan perlu riset akademik untuk mengkaji dampak positif dan negatif pilkada langsung. Tito tak menjawab apakah kajian itu mengarah ke perubahan sistem pilkada menjadi penunjukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. "Lakukan riset akademik. Kami dari Kemendagri akan melakukan itu," kata dia.
Tito mengaku akan menerima jika hasil kajian itu menyebut pilkada langsung masih lebih positif diterapkan. Namun, dia menilai perlu juga ada solusi untuk mengurangi tingginya biaya politik.
Sebagai mantan Kepala Kepolisian Republik Indonesia, kata Tito, dia merasa tak kaget dengan banyaknya operasi tangkap tangan (OTT) kepala daerah terduga korupsi yang selama ini marak terjadi. Tito menyebut biaya politik yang dibutuhkan oleh seorang calon bupati bisa mencapai Rp 30-50 miliar.
"Kalau bagi saya sebagai mantan Kapolri, ada OTT-OTT, penangkapan-penangkapan kepala daerah buat saya it's not a surprise for me," kata Tito. "Apa bener 'saya ingin mengabdi kepada nusa dan bangsa', terus rugi? Bullshit. Saya ndak percaya."
Berikutnya, Tito juga mengatakan ingin membuat kluster berdasarkan indeks demokrasi per daerah. Dia menyebut banyak daerah terpencil yang masyarakatnya tak peduli dengan program para calon kepala daerah, tetapi melihat apa yang dibawa oleh calon kepala daerah itu.
"Tapi di daerah-daerah terpencil masyarakat enggak peduli yang datang itu dengan program-programnya, yang datang bawa apa itu yang dia pilih. Ya enggak? Ya enggak nih? Ya enggak?" tanya Tito.