TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menunjuk bekas seterunya dalam Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019, Prabowo Subianto, sebagai Menteri Pertahanan di Kabinet Indonesia Maju.
Jika ditarik mundur saat perhelatan Pilpres berlangsung, Prabowo sebenarnya pernah menyinggung soal Jokowi yang mendapat laporan keliru soal pertahanan Indonesia.
“Jadi, masalah pertahanan keamanan ini, saya kira, maaf Pak Jokowi, mungkin pak Jokowi dapat briefing-briefing yang kurang tepat,” kata Prabowo saat debat Presiden dengan tema Pertahanan dan Keamanan pada Sabtu, 30 Maret 2019.
Mulanya, panelis debat menanyakan kepada kedua calon, Jokowi dan Prabowo soal bagaimana memodernisasi alat utama sistem senjata (alutsista) dan alat material khusus (almatsus) untuk menjaga pertahanan dan keamanan nasional. Namun, dengan tetap menjamin transparansi dan akuntabilitas karena anggaran yang terbatas.
Saat itu, Prabowo mengutip sebuah adagium dari sejarawan Yunani kuno, Thucydides yang menyebut, “The strong will do what they can, the weak suffer what they must.” Mereka yang kuat, kata Prabowo, akan berbuat sekehendak mereka. Sementara yang lemah, harus menderita. Saat itulah, Prabowo menyebut pertahanan Indonesia saat ini terlalu lemah dan jauh dari apa yang diharapkan.
Bagi Prabowo, salah satu penyebabnya adalah anggaran. “Karena kita tak punya uang,,” kata Ketua Umum Partai Gerindra ini.
Untuk itulah, kata Prabowo, Indonesia harus menjaga keuangan dan kekayaan yang ada, yang selama ini tidak tinggal di Indonesia. “Karena itu kita lemah, mau kita diplomasi apa, ini Duta Besar di sini, apa kita sadar bahwa kita diejek, dia senyum di depan kita, tapi we have no power,” kata Prabowo tegas.
Sehingga, Prabowo memandang, anggaran pertahanan Indonesia harus ditingkatkan. Untuk melakukannya, kata dia, harus diciptakan juga sistem yang bisa menghentikan kebocoran anggaran yang ada atau anggaran yang lari ke luar negeri. Selain itu, harus dilakukan upaya mengurangi korupsi. “Ini masalah inti,” kata Prabowo.
Saat diberi kesempatan, Jokowi memilih untuk menyinggung soal gelar pasukan. Saat itu, Jokowi mengaku sudah memerintahkan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto membangun sejumlah basis pertahanan tambahan di titik-titik terluar. Selain itu, kata Jokowi, saat ini Indonesia telah memiliki 19 titik radar udara dan 11 radar maritim yang terhubung satu sama lain. “Sudah menguasai seluruh daerah, 100 persen,” ujarnya.
Selain itu, kata Jokowi, anggaran di Kementerian Pertahanan pun sudah mencapai Rp 107 triliun, tertinggi kedua setelah setelah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). “Perhatian kami terhadap pertahanan bukan main-main, ada proses yang kurang, ini yang kita perbaiki, saya optimis,” kata Jokowi.
Prabowo tidak puas. Ia kemudian mengatakan Jokowi mendapat laporan yang keliru atau tidak tepat dari anak buahnya. Sebab, kata Prabowo, anggaran Rp 107 triliun tersebut hanya 5 persen dari APBN dan 0,8 persen PDB. Ia membandingkan dengan Singapura yang memiliki anggaran pertahanan, 30 persen APBN dan 3 persen PDB. “Saya hanya mengatakan, saya pengalaman di tentara,” kata Prabowo.
Selain masalah anggaran, Prabowo juga mengatakan bahwa dirinya berpengalaman pada budaya ABS atau Asal Bapak Senang. “Ketemu panglima, siap pak, aman pak, terkendali pak, radar cukup pak,” ujarnya. Padahal, kenyataan di lapangan belum tentu demikian. Itu sebabnya, kata Prabowo, Indonesia perlu mengkaji lagi permasalah ini karena pertahanan merupakan sebuah hal yang sangat penting.