TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan jika Prabowo Subianto didapuk menjadi Menteri Pertahanan dalam Kabinet Kerja Jilid II, menunjukkan pemerintah abai dan tak sensitif terhadap dugaan pelanggaran HAM.
"Diundangnya Prabowo untuk membantu pemerintahan itu menunjukkan demokrasi makin turun dan reformasi mundur. Seperti masa lalu, pelanggar HAM bisa menempati posisi strategis dan negara kita enggak sensitif dengan pelanggar HAM. Ini menambah banyak sinyal bahwa kita menyerupai 1998," kata Asfinawati kepada Tempo, Selasa 22 Oktober 2019.
Asfinawati menjelaskan, Indonesia harusnya berkomitmen menegakkan HAM. Jika ada yang terindikasi sebagai pelanggar HAM, meski bukan Jaksa Agung maupun Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), sudah pasti tetap akan menyandera pemerintahan.
"Tidak mungkin ada menteri dan pejabat publik yang akan membiarkan dirinya ditangkap ketika pemerintah meneruskan kasus pelanggaran HAM," katanya.
Dia pun mengingatkan, Menteri Pertahanan tak harus selalu berasal dari militer. Indonesia pernah memiliki Menhan dari kalangan sipil, yaitu Juwono Sudarsono yang menjabat di masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid pada tahun 1999 dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. "Kalaupun militer apa enggak ada orang lain dari militer?" ujarnya.
Lebih lanjut, Asfinawati menegaskan YLBHI akan konsisten menolak figur yang memiliki rekam jejak dugaan pelanggaran HAM berada di posisi strategis pemerintahan. Penolakan itu sama halnya dengan menolak sosok Wiranto di kabinet Jokowi jilid I.
"Ketika ada pelanggar HAM, itu menunjukkan komitmen pemerintah rendah pada HAM. Dan siapapun yang ada di sana, akan sulit melakukan apapun," ujarnya.