TEMPO.CO, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu KPK hanya bisa diterbitkan Presiden Joko Widodo jika didesak mahasiswa dan masyarakat sipil. "Kalau tuntutan masyarakat dan mahasiswa enggak kuat dan enggak kencang, ya itu jalan undang-undang itu," kata Refly kepada Tempo pada Kamis pagi, 17 Oktober 2019.
Tanpa desakan masyarakat, Perpu tidak akan keluar. “Satu-satunya faktor Perpu bisa keluar adalah tuntan masyarakat dan mahasiswa.”
Refly memastikan jika tuntutan masyarakat dan mahasiswa mereda, yang muncul dari Pemerintah dan DPR adalah argumentasi-argumentasi yang basi. "Saya kira enggak akan keluar (Perpu KPK) dan akan muncul argumentasi basi: ke MK saja.” Padahal tidak setiap UU bertentangan dengan konstitusi.
Hari ini, sebanyak 41 ekonom menyurati Jokowi tentang UU KPK yang melemahkan banyak kewenangan lembaga anti rasuah itu. Mereka di antaranya adalah Sonny Priyarsono, Arti Adji, BM Purwanto, Vid Adrison, Hengki Purwoto, Evi Noor Afifah, Budy Resosudarmo, dan Lincolin Arsyad. Ada pula Bambang Riyanto, Rumayya Batubara, Faisal Basri, dan Kresna Bayu Sangka.
Menurut para ekonom, RUU KPK telah melemahkan fungsi penindakan dan membuat KPK tidak lagi independen, meningkatkan tindak pidana korupsi dan mengancam efektivitas program pencegahan korupsi oleh KPK. Ilmu Ekonomi mengajarkan optimalisasi dan efisiensi alokasi sumber daya, namun korupsi menciptakan mekanisme sebaliknya. “Kami para ekonom, sebagai akademisi, berkewajiban memaparkan dan memisahkan mitos dari fakta terkait dampak pelemahan penindakan korupsi terhadap perekonomian."