TEMPO.CO, Jakarta - Menjelang diberlakukannya UU KPK yang baru pada 17 Oktober 2019, Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan dalam dua hari ke depan, KPK akan menghadapi berbagai kendala.
Yudi menyebut, KPK otomatis akan beroperasi menggunakan undang-undang yang tercatat terdapat 26 poin pelemahan Lembaga Antirasuah itu.
"Sehingga menyebabkan KPK tidak dapat berfungsi sebagaimana seharusnya untuk memberantas korupsi sesuai keinginan rakyat Indonesia, sebagaimana cita-cita reformasi 1998," kata Yudi melalui siaran pers pada Selasa, 15 Oktober 2019.
Yudi menegaskan, saat ini pegawai KPK masih bekerja dengan semangat dalam memberantas korupsi. Hal ini dilakukan melalui bidang penindakan seperti penetapan tersangka, penyitaan aset koruptor, OTT, maupun tindakan pencegahan.
Apa yang dilakukan KPK itu menandakan bahwa UU No. 30 Tahun 2002 masih sangat efektif untuk memberantas korupsi di negeri ini. Untuk itu menurutnya, solusi paling efektif, cepat dan efisien saat ini hanyalah keputusan penerbitan Perpu KPK oleh Presiden Joko Widodo.
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi hasil revisi dinilai banyak pihak melemahkan KPK. Berbagai elemen sipil menolak beleid yang telah disahkan di DPR dan saat ini berada di tangan Presiden Jokowi itu.
Jika Jokowi tak menerbitkan Perpu hingga besok, maka UU KPK itu akan berlaku pada 17 Oktober 2019.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai jika UU KPK yang baru diberlakukan pada 17 Oktober 2019, maka KPK akan vakum secara kewenangan penindakan.
Hal ini terkait proses penindakan KPK yang mesti melewati Dewan Pengawas. Sementara, Dewan Pengawas baru akan dilantik bersamaan dengan Pimpinan KPK yang baru pada Desember 2019.
"Pasca 17 Oktober, KPK, sampai Dewan Pengawas dibentuk, tidak lagi bisa melakukan penindakan. Sebabnya, proses penindakan harus dapat izin Dewan Pengawas," kata Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Donal Fariz dalam diskusi bertajuk 'Habis Gelap Terbitlah Kelam' di Jakarta Pusat pada Senin, 14 Oktober 2019.