TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan menilai Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) selalu tersandera revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
"RUU PKS tersandera RKUHP, dan menyandera dengan segala macam asumsi negatif terhadap RUU ini. Kita sandera semua itu, tapi korban enggak dapat apapun dalam 5 tahun ini," kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana di kantornya pada Selasa, 1 Oktober 2019.
Azriana bercerita, Komnas Perempuan dan Panitia Kerja RUU PKS di bawah komisi VIII DPR RI pernah bertemu dengan Tim Perumus RKUHP. Bahkan sudah ada pembicaraan pasal yang berpotensi tumpang tindih, salah satunya adalah perkosaan. Atas hal itu, tim perumus RKUHP meminta supaya dalih perkosaan dikeluarkan dari RUU PKS karena sudah diatur di RKUHP.
Dari pertemuan itu, Azriana menilai tim perumus beranggapan bahwa perkosaan harus diatur di RKUHP untuk menunjukkan bahwa negara menolak perkosaan dan menindak tegas perkosaan dengan meletakkannya di RKUHP. Namun, Komnas Perempuan menolak dan berdalih jika perkosaan dikeluarkan dari RUU PKS maka hukum acara pidana yang dipakai adalah yang berlaku saat ini.
"Padahal korban tidak bisa menggunakan hukum acara pidana yang berlaku sekarang. Itu menyulitkan korban. Ada hambatan akses keadilan karena hak mereka enggak dikenali di KUHP sekarang," kata Azriana.
Untuk itu, kata Azriana, jika RKUHP yang bermasalah harus ditunda, maka tak ada relevansinya menunda RUU PKS. "Sebab kita punya KUHP yang berlaku sekarang. Ini mengada-ada untuk menyandera. Harusnya enggak dipersulit kalau bisa mempertimbangkan jumlah korban yang berjatuhan setiap harinya," ujarnya.