TEMPO.CO, Medan - Aksi massa Barisan Mahasiswa Rakyat Bersatu di depan gedung DPRD Sumut dan Kota Medan berakhir ricuh dan rusuh pada Selasa, 24 September 2019. Sebanyak 55 orang ditangkap.
Saat penangkapan, sebagian dari mereka luka-luka sehingga sempat dibawa ke rumah sakit. Luka-luka yang dialami para korban diduga akibat bentrok fisik yang dilakukan polisi dalam menangkapi massa yang rusuh.
Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara menilai, polisi berlebihan menggunakan kekuatan saat menangani unjuk rasa penolakan revisi UU KPK.
"Bukti di lapangan pada aksi kemarin, semuanya dilanggar. Saat ditangkap, massa mendapat penganiayaan, baik dari yang berseragam atau yang berpakaian sipil. Kami memandang polisi arogan, ini pelanggaran HAM," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Sumut Amin Multazam Lubis, Kamis, 26 September 2019.
Polisi dianggap gagal dan tidak mampu mengendalikan diri sesuai Pasal 7 Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006. Disebutkan bahwa; polisi dilarang bertindak arogan, terpancing emosi akibat tingkah laku massa, mengucapkan kata-kata kotor, dan lainnya.
Bersama Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP), KontraS sudah mengumpulkan fakta-fakta lapangan sekaligus membuka akses pendampingan hukum bagi massa aksi yang diamankan polisi.
Amin mengatakan sempat mendapat kesulitan ketika ingin menemui massa yang diamanan di Mako Brimob Polda Sumut. Kondisi mereka secara umum menderita luka-luka. “Kondisinya saat kami jumpai malam dan gelap, tapi minimal mereka mendapat luka lebam,” katanya.
Dugaan lain yang dikumpulkan adalah penggunaan kekuatan secara berlebihan dalam membubarkan massa. Indikasi ini bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan yang penyatakan penggunaan kekuatan bisa dilakukan asal menerapkan prinsip akuntabilitas dan terukur. Aparat kepolisian harus mengisi formulir penggunaan kekuatan untuk melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan dalam mengendalikan
massa.
Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja mengatakan pihaknya sedang melakukan pendalaman terhadap oknum polisi yang melakukan penganiayaan dan sudah memeriksa sejumlah saksi.
Ada beberapa personel yang diduga menjadi pelaku penganiayaan yang bertentangan dengan Standar Operasional Prosedur (SOP). "Kami setiap melakukan pengamanan, ada arahannya. Tidak boleh membawa senpi, tidak melakukan pemukulan yang diluar perundang-undangan,” kata Tatan.