TEMPO.CO, Jakarta-Pusat Kajian Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai perlu dorongan masif dari masyarakat agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Penolakan dari masyarakat diperlukan agar syarat keluarnya Perpu dapat terpenuhi berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Perpu bisa dikeluarkan berdasarkan keadaan yang memaksa, keadaan itu ditentukan secara subyektif oleh Presiden," kata peneliti PSHK Agil Oktaryal saat dihubungi, Sabtu, 21 September 2019.
Agil menuturkan MK pernah mengeluarkan putusan yang mengatur syarat keluarnya Perpu. Syarat itu, di antaranya, apabila terjadi kekosongan hukum. Syarat kedua ialah apabila terjadi suatu keadaan yang membutuhkan pembentukan UU secara cepat.
Berdasarkan syarat itu, menurut Agil butuh dorongan masif dari masyarakat Indonesia untuk menolak revisi UU KPK yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR 17 September lalu.
Dengan begitu, maka Presiden dapat segera mengeluarkan Perpu sebagai pengganti UU KPK yang telah diubah. "Paling tidak (Perpu itu) bisa mengembalikan seperti semula ke UU KPK yang lama," kata dia.
Sebelumnya, UU KPK mendapatkan penolakan bahkan saat masih dibahas oleh DPR. Pegiat antikorupsi, guru besar dan dosen universitas menuding revisi UU KPK dilakukan untuk melemahkan komisi antikorupsi.
Dua hari setelah UU disahkan, ratusan mahasiswa dari sejumlah universitas juga menggelar aksi demo di depan Gedung DPR pada Kamis, 19 September 2019 menolak revisi UU KPK dan pengesahan Revisi KUHP. Demo serupa terjadi di banyak kota di Indonesia.