TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Jokowi meminta DPR menunda pengesahan RKUHP (Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana) dengan alasan terdapat 14 pasal yang harus diperbaiki.
"Saya lihat materi yang ada, substansi yang ada (perlu diperbaiki), kurang lebih 14 pasal," kata Jokowi di Istana Bogor pada Jumat, 20 September 2019.
Dia ingin pembahasan dilakukan dan pengesahan tidak oleh DPR periode 2014-2019 yang akan habis masa tugasnya pada 1 Oktober 2019.
Permintaan tiba-tiba Kepala Negara itu kontan direspons beragam oleh para politikus sejumlah fraksi di DPR. Ada politikus yang sepakat dan mendukung, ada pula yang menyayangkan.
Bahkan, anggota DPR dari fraksi yang sama pun belum tentu kompak dalam menanggapi keinginan Jokowi tersebut.
Berikut peta sikap sementara dari sejumlah fraksi,
1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Anggota Komisi Hukum DPR sekaligus Panitia Kerja RKUHP dari PDIP Masinton Pasaribu mengatakan akan berkomunikasi dengan seluruh fraksi di DPR ihwal perintah penundaan pengesahan RKUHP ini.
Masinton berpendapat, selama masa penundaan tersebut DPR dan pemerintah sebaiknya melakukan sosialisasi kepada masyarakat ihwal pasal-pasal yang dipermasalahkan.
"Tentunya DPR wajib melihat dinamika dan mendengar aspirasi yang berkembang terkait penolakan beberapa pasal dalam RKUHP," kata dia, Jumat lalu.
Adapun rekannya sefraksi, Diah Pitaloka berharap RKUHP tak gol di rapat paripurna. Anggota Komisi Sosial atau Komisi VIII DPR itu menilai RKUHP masih memuat pasal-pasal yang tak sensitif gender.
"Saya berharap RKUHP lebih sensitif gender. Mudah-mudahan di tingkat dua (Rapat Paripurna) enggak gol," kata Diah.
2. Partai Gerindra
Anggota Komisi Hukum DPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mendukung penundaan pengesahan RKUHP.
Dasco mengatakan partainya selama ini juga kerap menyatakan tak sepakat dengan pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP.
"Gerindra menyambut baik karena kami lebih dulu sebenarnya berupaya agar RUU KUHP yang kontroversial itu tidak segera diundangkan dalam pembahasan tingkat dua," kata Dasco.
3. Partai NasDem
Sekretaris Jenderal Partai NasDem Johnny G. Plate setuju menunda pengesahan RKUHP. Johnny mengatakan harus dilakukan penyisiran lebih lanjut terhadap pasal-pasal krusial di RKUHP mengingat banyaknya pro kontra di tengah masyarakat.
"Setuju ditunda dan dibahas DPR periode berikutnya," kata Johnny.
Adapun anggota Komisi Hukum DPR sekaligus Panja RKUHP Teuku Taufiqulhadi mengaku sedih atas penundaan itu.
4. Partai Persatuan Pembangunan
Anggota Komisi Hukum DPR sekaligus Sekretaris Jenderal PPP Arsul Sani menyatakan menyatakan manut dengan perintah Presiden Jokowi untuk menunda pengesahan RKUHP.
Dia mengatakan DPR dan pemerintah sama-sama pembentuk UU dan mereka tak bisa memaksakan posisi yang diambil satu sama lain.
"Tentu fraksi yang koalisinya masuk ke pemerintahan akan mendukung yang disampaikan Presiden," kata Arsul.
5. Partai Keadilan Sejahtera
Anggota Komisi Hukum DPR Nasir Djamil berpendapat sebaiknya RKUHP tetap disahkan oleh DPR periode sekarang.
Dia mengatakan masih ada waktu untuk membahas kembali RKUHP itu sebelum masa kerja DPR periode 2014-2019 berakhir pada akhir bulan ini. Dia meyakini dalam waktu singkat pemerintah dan DPR bisa menyelesaikan beberapa pasal krusial yang dipersoalkan.
"Sebab pengambilan putusan tingkat I sudah dilakukan dan tidak ada sinyal bahwa Presiden (Jokowi) akan menunda pengesahan RUU KUHP," kata Nasir.
Berbeda dengan Nasir, anggota Komisi Pemerintahan DPR sekaligus Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai pengesahan RUU KUHP sebaiknya ditunda. "Perlu pendalaman, sebaiknya ditunda," kata Mardani.
6. Partai Kebangkitan Bangsa
Anggota Komisi Hukum DPR dari PKB Anwar Rachman menyayangkan kemungkinan penundaan pengesahan RKUHP.
Dia mengatakam proses pembuatan dan pembahasan RKUHP sudah berjalan 40 tahun serta menguras anggaran, tenaga, dan pikiran.
Dia menilai dalam demokrasi wajar saja ada pro kontra terhadap RKUHP. Meski partainya adalah pendukung Presiden Jokowi, Anwar berpendapat sebaiknya RKUHP tetap disahkan.
"Yang tidak setuju terhadap pasal-pasal dalam KUHP baru kan bisa ajukan judicial review ke MK. Kan masih ada tenggang waktu dua tahun. Pada saat UU tersebut berlaku sudah sempurna," kata Anwar. "Kalau tidak sekarang kapan lagi kita punya KUHP sendiri."
BUDIARTI UTAMI PUTRI | DEWI NURITA