TEMPO.CO, Jakarta - Lima pakar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendesak pemerintah Indonesia untuk melindungi hak asasi manusia semua orang yang melakukan protes di Papua dan Papua Barat, termasuk pembela HAM Veronica Koman.
"Kami menyerukan langkah-langkah segera untuk memastikan perlindungan kebebasan berekspresi dan mengatasi tindakan pelecehan, intimidasi, campur tangan, pembatasan yang tidak semestinya, dan ancaman terhadap mereka yang melaporkan protes," kata para pakar PBB melalui keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin, 16 September 2019.
Para pakar PBB yang menyerukan desakan tersebut ialah Clement Nyaletsossi Voule (Togo), David Kaye (AS), Dubravka Šimonovi (Kroasia), Meskerem Geset Techane (Ethiopia), dan Michel Forst (Prancis).
Sebelumnya Veronica Koman ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyebaran kabar bohong atau hoaks asrama mahasiswa Papua, Surabaya pada pertengahan Agustus lalu oleh Kepolisian Daerah Jawa Timur. Bahkan, Ditjen Imigrasi Indonesia berkoordinasi dengan pejabat imigrasi di Australia untuk mencabut paspor Veronica.
Selain itu, pihak berwenang Indonesia juga diketahui meminta Interpol untuk mengeluarkan red notice untuk menemukan Veronica karena ia berada di luar negeri. Menanggapi hal tersebut, para pakar PBB menyatakan keprihatinannya.
Akibat dari meletusnya kerusuhan di sejumlah wilayah Papua dan Papua Barat, pihak berwenang juga memutus akses internet di Bumi Cenderawasih itu. Para pakar PBB lantas mengecam keputusan tersebut.
"Pembatasan internet dan akses informasi secara umum berdampak buruk pada kemampuan individu untuk mengekspresikan diri, dan untuk berbagi dan menerima informasi. Di sisi lain, akses ke internet berkontribusi untuk mencegah disinformasi dan memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata para ahli.
Selanjutnya, para pakar PBB juga menekankan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi tidak hanya merusak diskusi tentang kebijakan pemerintah, tetapi juga membahayakan keselamatan para pembela HAM yang melaporkan dugaan pelanggaran.