TEMPO.CO, Yogyakarta - Mahfud MD, ahli hukum tata negara dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menanggapi pengumuman Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyerahkan pengelolaan lembaga itu kepada Presiden Jokowi.
Penyerahan mandat itu menyusul pemilihan Calon Pimpinan KPK dan revisi UU KPK yang tak disetujui oleh awak komisi antirasuah itu.
Mahfud MD mengatakan bahwa secara ketatanegaraan KPK bukanlah mandataris Presiden. Menurut dia, meskipun tugasnya dan fungsinya berada di ranah eksekutif, lembaga independen tersebut bukan bawahan pemerintah.
Dalam Pasal 32 Undang-Undang KPK orang berhenti itu bukan karena mengembalikan mandat atau dicabut mandatnya. "Tapi karena pensiun, meninggal, atau mengundurkan diri,” katanya di Cafe d’Tambir, Kota Yogyakarta, hari ini, Ahad, 15 September 2019.
Jumat lalu, 13 September 2019, ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan menyerahkan pengelolaan KPK kepada Jokowi. Dia beralasan, pemimpin KPK tak pernah diajak biara soal draf revisi UU KPK yang telah disetorkan pemerintah kepada DPR.
Awak KPK menyatakan revisi UU KPK adalah upaya pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi. DPR telah memutuskan revisi UU KPK menjadi usu inisiatif DPR yang akan disahkan sebelum masa tugas 2014-2019 berakhir yakni 1 Oktober 2019.
Mahfud MD berpendapat kini waktunya awak KPK diajak bicara oleh Presiden Jokowi. Selama ini pemimpin KPK hanya menunggu sikap Presiden terhadap revisi UU KPK. "Saya kira Presiden cukup bijaksana untuk mengundang mereka."
Menyangkut soal nasib pimpinan KPK sekarang, secara yuridis mengembalikan mandat itu bukan berarti KPK kosong. Karena ketika bukan mandataris Presiden.
Mahfud mengungkapkan bahwa masyarakat ingin KPK menjadi lebih kuat. Presiden juga mengatakan ingin menguatkan KPK. Bahkan, pihak yang menentang perubahan UU KPK juga ingin KPK kuat.
"Namanya negara demokrasi, dipertemukan saja yaitu melalui proses pembahasan yang terbuka,” kata dia.
Mahfud MD mengingatkan, menurut Pasal 5 dan 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, setiap rancangan undang-undang harus dibahas dengan asas keterbukaan melalui public hearing serta kunjungan studi ke universitas.
“Jadi ada rapat-rapat tertentu, bukan tiba-tiba jadi gitu," tutur bekas Menteri Pertahanan ini.
Kalangan penggiat antikorupsi juga menyesalkan sikap Presiden Joko Widodo. Ia sebetulnya memegang kekuasan besar untuk mencegah “tamatmya” riwayat KPK sebagai lembaga superbodi. Tapi sikap Presiden justru segendang sepenarian dengan manuver DPR. Padahal, Krisis KPK, Presiden Jokowi Sudah Berkali-kali Diingatkan.
MUH SYAIFULLAH