TEMPO.CO, Jakarta - Mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto menganggap KPK dihancurkan melalui revisi UU KPK dan pemilihan calon pimpinan KPK bermasalah. Ia menganggap penghancuran KPK kali ini dilakukan dengan terang-terangan. "Parade kepongahan dipertontonkan secara seronok," kata dia dalam keterangan tertulis, Ahad, 15 September 2019.
Bambang mengatakan indikasi kolusi dalam pemilihan capim KPK terlihat jelas. Calon yang dituduh tak berintegritas, kata dia, justru sengaja diusulkan presiden lalu dipilih oleh DPR. "Inikah awal proses pembusukan yang kelak potensial menghancurkan kehormatan KPK?"
Masukan publik terhadap proses pemilihan capim KPK, kata Bambang, diabaikan. Ia menduga uji kelayakan dan kepatutan di DPR cuma ajang pengukuhan terhadap calon yang sebenarnya sudah disepakati.
Komisi Hukum DPR menunjuk lima komisioner yang bakal memimpin KPK pada Jumat, 13 September 2019. DPR memilih Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua KPK 2019-2023. Firli, Kepala Polda Sumatera Selatan ini adalah mantan Deputi Penindakan KPK. Dalam uji kelayakan dan kepatutan itu, Komisi III menanyakan dukungan terhadap revisi UU KPK kepada para calon pimpinan KPK.
Dalam pemilihan, Firli meraih suara terbanyak dengan 56 suara. Empat lainnya akan menjadi anggota yaitu mantan Komisioner KPK Alexander Marwata dengan 53 suara, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Nurul Ghufron dengan 51 suara, hakim tinggi Nawawi Pomolango dengan 50 suara, dan advokat Lili Pintauli Siregar dengan 44 suara.
Sehari sebelumnya, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengadakan konferensi pers dan menyebut Firli diduga melanggar kode etik semasa menjabat sebagai Deputi Penindakan. Ia ditengarai bertemu pihak yang berperkara di KPK, di antaranya Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Bahrullah Akbar. "Hasil pemeriksaan pengawas internal adalah terdapat dugaan pelanggaran berat," kata Saut Situmorang di kantornya, Jakarta, Rabu, 11 September 2019.
Firli mengatakan pertemuan dengan Zainul tidak membicarakan soal kasus. Sementara, dalam pertemuan dengan Bahrullah, ia mengatakan mengajak stafnya supaya bisa mendengarkan pertemuan itu. "Tidak ada efek (terhadap perkara) saya bertemu," kata dia.
Presiden Joko Widodo sebetulnya memegang kekuasan besar untuk mencegah “tamatnya” riwayat KPK sebagai lembaga superbodi. Tapi sikap Presiden justru segendang sepenarian dengan manuver DPR. Padahal, Krisis KPK, Presiden Jokowi Sudah Berkali-kali Diingatkan.