TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal segera merampungkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Ketua Panitia Kerja RKUHP, Mulfachri Harahap mengatakan keputusan tingkat I akan dilakukan agar RKUHP itu bisa lekas disahkan dalam rapat paripurna. "Dalam sepekan ke depan, insya Allah (pengambilan keputusan tingkat satu)," kata Mulfachri kepada Tempo, Jumat, 13 September 2019.
Mulfachri mengklaim sudah tak ada lagi pasal-pasal yang diperdebatkan dalam RKUHP. Dia mencontohkan beberapa pasal krusial, di antaranya penghinaan kepada presiden/wakil presiden, hukuman mati, dan pasal perzinahan.
Pasal penghinaan kepada presiden/wakil presiden, kata Mulfachri, masih tetap ada dalam RKUHP dengan delik aduan mutlak. Artinya presiden/wakil presiden sendiri yang harus melapor. "Karena presiden paling punya kesibukan luar biasa maka itu disampaikan secara tertulis oleh presiden."
Pasal hukuman mati, juga tetap ada dengan ketentuan adanya masa percobaan selama sepuluh tahun. Akan ada tim yang mengevaluasi masa percobaan itu. Jika narapidana berkelakuan baik, bisa memperoleh pengurangan hukuman.
Putusan masa percobaan itu harus juga tertuang dalam amar putusan hakim. "Kalau tidak memuat itu, otomatis, tidak ada remisi," kata politikus Partai Amanat Nasional ini.
Soal pasal-pasal perzinahan, disepakati jika dilanggar akan dipidana. Orang yang tinggal satu rumah di luar perkawinan dianggap melanggar KUHP baru.
"Insya Allah enggak ada lagi hal yang sangat substansi yang belum terselesaikan.” Panja, kata dia, menyisir pasal-pasal dalam draf RKUHP agar tidak ada duplikasi. “Agar tidak ada pasal-pasal yang secara normatif sulit untuk diterapkan."