TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, mengatakan poin-poin revisi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2019 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah atau UU MD3, sudah bisa diduga sebelumnya.
Menurut Lucius, yang dilakukan Badan Legislasi DPR bukan membahas substansi, tetapi mengatur redaksi bahasa dalam undang-undang saja. Sedangkan yang menyepakati substansi adalah pimpinan partai dengan pemerintah. “Jadi DPR ini kerjanya hanya ikut suruhan pimpinan partai saja. Pimpinan partai yang sibuk di luar sana berkompromi,” kata Lucius saat dihubungi, Sabtu 14 September 2019.
Jumat, 13 September 2019, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dan DPR menyepakati perubahan UU MD3. Hal ini diputuskan dalam rapat Badan Legislasi DPR yang berlangsung selama sekitar tiga jam. Setelah disepakati di tingkat Panitia Kerja, draf revisi akan dibawa ke rapat paripurna DPR.
Beberapa fraksi di DPR meminta perubahan aturan ini khususnya penambahan jumlah pimpinan MPR. Dewan meminta jumlah pimpinan MPR bertambah dari 5 menjadi 10 orang. Alasannya, mengakomodir semua fraksi yang ada di parlemen, yakni sembilan partai dan satu DPD.
Revisi UU MD3 diduga merupakan hasil “tukar guling” antara Golkar dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang ingin meloloskan revisi UU KPK. Seorang politikus Golkar menyebut revisi UU MD3 karena ingin mengamankan posisi Ketua MPR untuk kadernya. Sedang PDI Perjuangan melalui anggota Komisi III Masinton Pasaribu ngotot merevisi UU KPK.
Lucius miris bila benar prosesnya seperti itu. Ia pun menilai hal itu sangat mungkin terjadi. “Di situ persis mirisnya. Parpol-parpol dengan mudah menggadaikan nasib bangsa pada hal-hal pragmatis.”