TEMPO.CO, Jakarta - Kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP Kapitra Ampera menyoroti penolakan terhadap revisi UU KPK oleh berbagai kalangan.
Kapitra Ampera menyebut menolak rancangan undang-undang versi DPR terrsebut sama dengan tindakan makar.
"Fenomena penolakan revisi Undang-undang KPK, yang mana dapat dikatagorikan sebagai perbuatan makar karena hak legislasi pembuatan Undang-undang ada pada DPR bersama dengan Presiden," ujarnya dalam keterangan tertulis pada Senin, 9 September 2019.
Menurut mantan pengacara bos FPI Rizieq Shihab itu, KPK sejatinya hadir karena undang-undang maka harus tunduk kepada beleid yang ada. Maka apabila ada kelompok yang menilai revisi UU KPK bertentangan dengan konstitusi seharusnya mereka mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Kapitra Ampera melanjutkan, jika undang-undang tertentu dianggap bertentangan dengan undang-undang lainnya maka publik bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung.
Dia menilai jalan itulah yang konstitusional dan demokratis di negara yang berdasarkan hukum dan demokrasi seperti Indonesia.
Jadi bukan dengan menggalang people power ketika lembaga atau institusi negara menjalankan fungsinya."
Bahkan, Kapitra Ampera mengatakan penggalangan massa untuk menolak revisi UU KPK adalah bentuk 'subversif ala now' serta preseden buruk yang mencederai hukum dan demokrasi.
Kapitra Ampera menganggap tujuan revisi UU KPK untuk kepentingan pemberantasan korupsi, penguatan KPK, penegakan prinsip keadilan, dan kepastian hukum bagi semua pihak.
Revisi UU KPK dapat menjadikan KPK dan masyarakat berada pada posisi yang seimbang. Kapitra pun berpendapat revisi UU KPK juga akan memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.
Salah satu poin penting dari revisi UU KPK, Kapitra Ampera menjelaskan, adalah dimasukkannya kententuan pembentukan Dewan Pengawas KPK. "Idealnya tidak ada satu lembaga pun yang boleh luput dari pengawasan karena kekuasaan yang tidak diawasi berpotensi abuse of power."
Dewan Pengawas KPK dianggapnya akan menguatkan KPK lantaran lembaga antirasuah bisa bertindak secara independen dan menjaga profesionalitas internal.
Soal pemberian kewenangan penerbitan Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan (SP3) terbatas, menurut Kapitra Ampera, harus dilakukan demi kepastian hukum dan rasa keadilan.
"Selama ini KPK tidak memiliki kewenangan untuk menerbitkan SP3, sehingga orang tersebut akan terus menjadi tersangka seumur hidup, meskipun KPK sendiri tidak dapat menindaklanjuti perkaranya secara hukum," tutur Kapitra Ampera.
CAESAR AKBAR