TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan usulan adanya revisi UU KPK Nomor 30 Tahun 2002, tidak muncul di era kepemimpinannya. Justru ia menyebut usulan ini muncul saat KPK dikepalai oleh Pelaksana Tugas (Plt) Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki.
"Sepengetahuan saya, di masa kepemimpinan (KPK) jilid 3, saya dan teman-teman yang memimpin kita tidak pernah punya usulan seperti yang dikatakan," kata Samad dalam diskusi di kawasan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Sabtu, 7 September 2019.
Menurut anggota Komisi 3 DPR Arteria Dahlan, usulan revisi ini memang didapat DPR dari KPK sendiri, pada November 2015 silam. Saat itu, kursi Ketua KPK tengah dijabat oleh Ruki yang menggantikan Samad. Samad sendiri saat itu harus digantikan karena menjadi tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen.
Samad mengatakan, jika memang usulan itu muncul di era Ruki, ia menuding telah terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK. Pasalnya, Samad mengatakan Pelaksana tugas Ketua, disebutkan tak boleh membuat kebijakan strategis.
"Berarti Plt ini melakukan pelanggaran. Mengambil langkah kebijakan-kebijakan. Plt punya garis, apa yang boleh dilakukan dan kebijakan-kebijakan yang tidak boleh dilakukan," kata Samad.
Jangankan membuat usulan revisi UU KPK. Samad mengatakan kebijakan seperti melakukan rekrutmen pejabat struktural saja tak boleh diambil di dalam masa kepemimpinan Plt.
"Oleh karena itu, nanti kami akan crosscheck (ke Ruki)," kata Samad.
Usulan revisi dari pimpinan KPK ini, yang kemudian menjadi dalih dari DPR menyetujui adanya perubahan di Undang-Undang lembaga anti rasuah itu. Selang hampir empat tahun, pada Kamis pekan kemarin, DPR menyepakati pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK sebagai usul inisiatif DPR.
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan setidaknya ada sembilab poin perubahan yang berpotensi melumpuhkan kerja pemberantasan korupsi. Pertama, independensi KPK terancam; kedua, penyadapan dipersulit dan dibatasi; ketiga, pembentukan Dewan Pengawas yang dipilih oleh DPR; keempat, sumber penyelidik dan penyidik dibatasi; kelima, penuntutan perkara korupsi harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung.
Keenam, perkara yang mendapat perhatian masyarakat tidak lagi menjadi kriteria; ketujuh, kewenangan pengambilalihan perkara di penuntutan dipangkas; kedelapan, kewenangan-kewenangan strategis pada proses penuntutan dihilangkan; kesembilan, kewenangan KPK untuk mengelola pelaporan dan pemeriksaan LHKPN dipangkas.