TEMPO.CO, Jakarta - Penasehat Majelis Hukum PP Muhammadiyah, Muchtar Luthfi, mengatakan draft Rancangan Undang-Undang Pertanahan bernuansa kolonial. Menurutnya RUU ini tidak demokratis dan jauh lebih buruk dari UU Nomor 5 Tahun 1960.
"Nuansa RUU yang diajukan itu sudah kembali ke nuansa kolonial. Akan menghidupkan lagi domein verklaring yang digagas Gubernur Jenderal Belanda, Van der Capellen dan Van den Bosch," kata Muchtar dalam konferensi pers RUU Pertanahan di Kantor PP Muhammadiyah Jakarta, Selasa, 3 September 2019.
Muchtar menilai, RUU Pertanahan tersebut menunjukkan wewenang presiden yang dapat menentukan hubungan khusus antara orang dengan tanah hanya melalui peraturan presiden. RUU Pertanahan itu juga menghidupkan kembali nuansa kepemilikan negara yang merampas tanah rakyat.
"Bisa dibayangkan tanah kalau sudah hak milik negara. Saya tegaskan kembali, domein verklaring ini oleh UU Pokok Agraria dengan tegas dihapuskan karena menyengsarakan rakyat," katanya.
Hingga saat ini, RUU Pertanahan masih dikebut pembahasannya oleh DPR meski telah menuai banyak pro kontra dari berbagai kalangan. Rencananya, DPR RI akan mengesahkan RUU Pertanahan bertepatan dengan Hari Tani Nasional pada 24 September 2019.