Keempat, Asfinawati menuturkan Kejaksaan Agung menghambat penuntasan pelanggaran HAM yang berat dan menjadi alat impunitas. "Kejaksaan Agung selalu mengembalikan berkas perkara dengan alasan kurangnya bukti padahal yang harus mencari bukti adalah mereka," kata dia.
Kejaksaan, kata Asfinawati, juga berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi. Kejaksaan Agung membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang diperkuat dengan Peraturan Jaksa Agung No. Per-014/A/JA/11/2016 tentang mekanisme kerja teknis dan administrasi. Pada prakteknya tim ini berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi yang terjadi pada proyek yang dikawal dan bahkan peluang korupsi itu sendiri;
Selain itu, Penuntut Umum diaggap tidak mandiri dan independen. Sistem rencana penuntutan (Rentut) berjenjang dimana yang berwenang menentukan tuntutan bukanlah Penuntut Umum yang bersidang dan lebih mengetahui fakta persidangan tetapi pimpinan Kejaksaan baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung.
Hal ini berpotensi memunculkan tekanan pimpinan terhadap Penuntut Umum dan membuka ruang korupsi baik gratifikasi, perdagangan pengaruh(trading influence) maupun penyuapan dan pemerasan;
Terakhir, Asfinawati mengatakan Kejaksaan belum memiliki keterbukaan informasi. "Akses informasi di Kejaksaan relatif tertutup sehingga publik sulit untuk mengakses informasi termasuk surat-surat edaran Kejaksaan yang ikut menentukan nasib masyarakat," kata dia.