TEMPO.CO, Jakarta - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan institusinya bersama pemerintah masih menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RUU KUHP. Mereka juga menerima berbagai masukan dari kelompok masyarakat, khususnya dari cendekiawan serta organisasi keagamaan.
Menurut Bamsoet masih terbuka ruang penyempurnaan terhadap pasal-pasal penghinaan agama dalam RUU KUHP.
"Semangat menyelesaikan RUU KUHP adalah agar menjelang 74 tahun usia kemerdekaan Indonesia, kita punya aturan hukum yang lahir dari rahim bangsa sendiri. Dan tidak lagi menggunakan aturan hukum warisan kolonial," kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2019.
Bamsoet sebelumnya bertemu dengan Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan di ruang kerja Ketua DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin 22 Juli 2019.
Bamsoet menilai peran aktif masyarakat dalam memberikan masukan akan sangat berguna, termasuk dalam hal pasal-pasal penghinaan agama atau pun pasal-pasal lainnya.
Dia mengatakan KUHP merupakan citra peradaban sebuah bangsa yang harus sesuai dengan prinsip hak asasi manusia dan politik pemidanaan internasional.
Karena itu, menurut dia lagi, penyempurnaan RUU KUHP akan terus dilakukan hingga akhirnya bisa tuntas 100 persen untuk disahkan menjelang DPR RI periode 2014-2019 berakhir pada September 2019.
"Di dunia internasional, kata penghinaan dalam unsur pemidanaan memang tidak lagi populer, bisa saja kata penghinaan tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam pasal 250 dan 313 RUU KUHP ditinjau kembali. Karena memang pembahasannya masih berjalan terus, belum tutup buku," ujarnya.
Dalam pertemuan tersebut, Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan menyampaikan berbagai masukan, antara lain mengganti kata 'penghinaan' dengan 'hasutan untuk menyebarkan, menyiarkan kebencian, dengan maksud melakukan kekerasan, atau diskriminasi'.
Selain itu, Koalisi mengusulkan mengganti judul Bab VII RUU KUHP yang menyebut "Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama", agar tidak terjadi multitafsir yang menyebabkan agama menjadi subjek hukum.
Bamsoet menyampaikan bahwa semangat keberadaan bab VII dan pasal-pasal di dalamnya adalah untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dalam menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakininya. Hal ini sebagaimana diamanahkan dalam konstitusi negara pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.
"Jika redaksionalnya dirasa kurang tepat, DPR RI dengan senang hati menerima berbagai masukan dari masyarakat," katanya.
Bamsoet yang merupakan politisi Partai Golkar itu mengatakan masukan Koalisi Advokasi Kemerdekaan Beragama atau Berkeyakinan akan diteruskan ke Komisi III DPR RI.
Menurut dia, masukan dari masyarakat itu diharapkan agar KUHP yang dihasilkan bisa sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia. Masukan itu bisa menjawab berbagai persoalan serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
"Keaktifan masyarakat memberikan masukan adalah cermin kepedulian mereka terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara," ujarnya.
Dia tidak ingin ketika nanti RUU KUHP ini disahkan menjadi UU, justru malah terjadi penolakan dimana-mana, karena itu DPR RI selalu terbuka terhadap berbagai aspirasi.