TEMPO.CO, Yogyakarta - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menandatangani nota kesepahamam pemberantasan korupsi, Kamis, 18 Juli 2019. Penandatanganan dilakukan langsung oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Ketua KPK Agus Rahardjo di kantor pusat organisasi itu di Yogyakarta.
Konsekuensi dari kesepahaman ini adalah dicabutnya ijazah alumnus lembaga pendidikan Muhammadiyah jika terbukti korupsi. Hal ini dilakukan Muhammadiyah sebagai sanksi dan agar menimbulkan efek jera. “Ini perlu sebagai bagian dari upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Setidaknya bisa memberikan efek jera," kata Haedar seusai penandatangan kesepahaman.
Muhammadiyah berkomitmen tinggi dalam pemberantasan perilaku koruptif. Upaya itu dilakukan juga terhadap alumni ribuan perguruannya. Hingga Januari 2019, Muhammadiyah memiliki 174 perguruan tinggi, 1.143 SMA/SMK/MA, 1.772 SMP/MTs, 2.604 SD/MI, 14.346 TK/TPQ ABA-PAUD, 102 pondok pesantren, 6.27p masjid dan 5.689 musola.
Untuk mewujudkan pencabutan ijazah itu perlu menyiapkan sistem yang komprehensif. "Kami buat dulu sistemnya yang komprehensif dan lebih terstruktur," kata Haedar.
Pada 2000 Muhammadiyah sudah memiliki gerakan anti korupsi. "MoU (dengan KPK) ini bagian dari akselerasi pemberantasan korupsi lebih massif."
Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan pihaknya gencar menjalin kerja sama dan penandatangan kesepahaman tentang pemberantasan korupsi. "Dengan NU sudah, sekarang dengan Muhammadiyah," kata Agus.
Menurut dia, kesepahaman dengan Muhammadiyah ini bertujuan membentuk karakter bangsa yang tidak koruptif. Muhammadiyah punya peran strategis dalam pencegahan korupsi. Dalam pencegahan korupsi, Muhammadiyah sudah memiliki metode dan kurikulum. "Nah ini kan saling melengkapi dan saling menyempurnakan apa yang kurang," ujar dia.