TEMPO.CO, Jakarta - Tuduhan pelanggaran HAM mencuat di tengah perayaan hari jadi Polri ke-73 pada bulan ini. Jika melihat kilas balik, musababnya rusuh 22 Mei 2019 di kawasan Gedung Bawaslu RI, Jakarta Pusat, menyusul demonstrasi emosional para pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menolak hasil hitung cepat kemenangan pasangan Jokowi-Ma'rif Amin. Bahkan Presiden Jokowi menyebut unjuk rasa itu sebagai kerusuhan.
Kala itu, ribuan pendukung dan relawan Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi turun ke jalan secara bergelombang di Gedung Bawaslu RI pada 21 Mei 2019. Mereka menuding terjadi kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif oleh Bawaslu, KPU, dan Jokowi-Ma'ruf Amin. Demonstrasi itu pun berujung ricuh.
Baca: Viral Masjid Diserang Saat Rusuh 22 Mei, Begini Isi Rekaman CCTV
Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan kronologi sebelum hingga sesaat kerusuhan terjadi. Sekitar pukul 18.00 WIB, masih pada 21 Mei, suasana berbuka puasa dilanjutkan salat Maqrib berjalan tertib. "Ada permintaan dari peserta unjuk rasa untuk melanjutkan salat Isya dan Tarawih. Kami penuhi dan diperbolehkan," kata Tito di Kantor Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Jakarta, keesokan harinya, Rabu, 22 Mei 2019.
Setelah salat Tarawih sekitar pukul 21.30, petugas bernegosiasi dengan massa untuk membubarkan diri dan dipatuhi oleh para demonstran. Kemudian sekitar pukul 23.00 dari arah Tanah Abang atau belakang Bawaslu muncul sekelompok pemuda berjumlah 300-400 orang dan melempari polisi yang sedang berjaga di depan Kantor Bawaslu. Selain menggunakan batu, mereka juga melemparkan petasan dan bom molotov.
Menurut Tito, polisi berupaya mendorong mereka mundur ke kawasan Tanah Abang dan Jalan Kebun Kacang dengan menyemprotkan air dari mobil water cannon ke arah massa. Namun, pada Rabu dini hari, pukul 03.00, di kawasan Petamburan, Jakarta Pusat, tiba-tiba ada sekelompok pemuda menyerang Asrama Brimob dan membakar kendaraan pribadi yang diparkir.
Serangan itu pun berakhir bentrok hingga akhirnya personel Sabhara Polri dapat membubarkan massa di Petamburan dan di depan Gedung Bawaslu. Kerusuhan di Asrama Brimob mengakibatkan 11 mobil rusak karena dibakar dan 14 mobil lainnya habis terbakar.
Di sisi lain, Tito melanjutkan, ada massa yang menyerang Asrama Polisi di Cideng, Jakarta Pusat, serta membakar ban bekas di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur. "Massa 100 orang hingga 150 orang." Tito menegaskan bahwa pelaku rusuh 22 Mei dan perusakan di sejumlah lokasi di Jakarta bukanlah massa yang berdemonstrasi di depan Gedung Bawaslu.
Total sembilan orang tewas akibat rusuh 22 Mei 2019, lebih dari 200 orang terluka, serta sekitar 300 tersangka kerusuhan ditangkap.
Amnesty International Indonesia meminta Polri, yang berulang tahun pada 1 Juli lalu, segera menindak anggota Brimob yang diduga melakukan penganiayaan dalam kerusuhan 21-23 Mei di beberapa titik di Jakarta. Amnesty menilai hukuman disiplin kepada anggota Brimob tersebut wajib dilakukan. Menurut Usman, tindakan itu merupakan pelanggaran HAM yang serius, yakni berupa penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya.
Baca juga: Rusuh 22 Mei, Gerak Cepat Polisi, dan Ancaman Spekulasi Liar
“Ini penting agar Polri memperlihatkan kepada masyarakat bahwa setiap warga negara setara kedudukannya di muka hukum,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid melalui keterangan tertulis pada Jumat, 5 Juli 2019.
Dia menanggapi sanksi disiplin berupa penahanan selama 21 hari bagi 10 anggota Brimob Polri yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga di Kampung Bali, Tanah Abang. Amnesty pun mengapresiasi. Namun, menurut Usman, Amnesty juga telah mencatat dan mengonfirmasi setidaknya terjadi lima tindakan penganiayaan oleh Brimob di area smart parking, Kampung Bali. Polri hanya menindak pelaku 1 kejadian dari 5 kejadian penganiayaan di sekitar lokasi tersebut.
Amnesty berpendapat, Polri harus melanjutkan langkah awal yang positif tadi dengan menyelesaikan kasus penganiayaan lainnya dalam rusuh 22 Mei dan sehari setelahnya. "Inilah pekerjaan rumah Polri ke depan yang sangat penting untuk peningkatan citra Polri di masyarakat sebagai penegak hukum yang profesional dengan menindak anggotanya yang melakukan pelanggaran,” tutur Usman.
HALIDA BUNGA FISANDRA