TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan beberapa catatan untuk Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang bisa dipertimbangkan saat seleksi pendaftar.
Baca juga: Busyro Muqqodas Kritik Jokowi Soal Capim KPK: Pansel Versi Istana
"Pertama, tidak ada kewajiban dalam peraturan perundang-undangan manapun yang menyebutkan bahwa Pimpinan KPK mesti berasal dari instansi penegak hukum tertentu," ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui siaran pers, Sabtu, 22 Juni 2019.
Kurnia mengatakan, Lembaga Survei Indonesia pada akhir 2018 merilis data bahwa lembaga yang paling berpotensi melakukan pungutan liar dalam pelayanan birokrasi adalah Kepolisian. Kinerja dari beberapa wakil Kepolisian di KPK dinilai tidak terlalu memuaskan, bahkan dapat dikatakan mengecewakan.
Kedua, saat ini KPK sedang menangani kasus korupsi dengan skala politik dan nilai kerugian negara yang sangat besar. "Untuk itu maka pansel mempunyai kewajiban agar pimpinan KPK ke depan tidak berupaya untuk menghambat penanganan beberapa kasus tersebut," ucap Kurnia.
Lalu, setiap orang yang mendaftar sebagai pimpinan KPK harus mundur dari institusinya terdahulu. Kurnia mengingatkan, dalam butir Pasal 3 UU KPK menyebut secara gamblang bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Hal ini sekaligus menghindari potensi loyalitas ganda ketika memimpin lembaga anti korupsi itu.
Baca juga: Antam Novambar dan 8 Polisi Daftar Capim KPK, Berikut Daftarnya
"Ini harus dipahami publik, agar nantinya proses seleksi pimpinan KPK ke depan akan menghasilkan figur-figur berintegritas," ucap Kurnia.
Sebagai informasi, pendaftaran calon pimpinan KPK sendiri sudah dibuka mulai 17 Juni sampai dengan 4 Juli 2019. Mereka akan melalui sejumlah tahapan seperti seleksi administrasi, tes uji kompetensi yang diikuti dengan assessment, tes kesehatan, dan wawancara.