TEMPO.CO, Jakarta-Mantan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan menganggap banyak yang janggal dalam kasus korupsi investasi Blok Manta Gummy (BMG) yang menyeretnya menjadi terdakwa. Kejanggalan tersebut, kata dia, membuatnya berpikir bahwa kasus ini hanyalah rekayasa.
Baca juga: Karen Agustiawan: Kasus Saya Preseden Buruk untuk Akusisi Migas
"Berbagai kejanggalan tersebut telah membuat saya berpikir dan bertanya-tanya, siapa sebetulnya sponsor utama kasus BMG ini? Dan apa motifnya? Politik atau uang atau kedua-duanya? Atau hanya dendam pribadi karena urusan saudara yang tidak dipenuhi permintaannya?” kata Karen saat membacakan pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu, 29 Mei 2019.
"Mudah-mudahan para hadirin, utamanya para awak media yang hadir di sini, paham siapa tokoh-tokoh yang dimaksud," lanjut Karen.
Karen mengatakan akuisisi Pertamina di blok minyak BMG murni bertujuan untuk melakukan ekspansi bisnis perusahaan plat merah itu. Akuisisi itu, kata dia, tidak pernah dimaksudkan untuk memperkaya diri sendiri atau perusahaan lain.
Dia mengatakan tak pernah mengenal apalagi bersepakat dengan pemilik BMG. Dia mengatakan akuisisi dalam dunia bisnis hulu migas adalah hal biasa. "Tidak masuk akal jika saya sengaja melanggar ketentuan untuk menguntungkan pihak/korporasi lain, dan merugikan perusahaan yang selama ini saya telah bekerja keras," ujar Karen.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Karen dihukum 15 tahun penjara dan denda Rp 284 miliar. Jaksa menyatakan Karen terbukti mengabaikan prosedur investasi di Pertamina dalam akuisisi blok BMG di Australia pada 2009. Hal itu ia lakukan bersama Direktur Keuangan Pertamina Ferederick ST Siahaan; Manager Merger dan Akusisi Pertamina Bayu Kristanto dan Legal Consul and Compliance Genades Panjaitan telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam akuisisi itu hingga merugikan negara Rp 568 miliar.
Karen Agustiawan menganggap seluruh tuntutan jaksa itu sebetulnya sudah terpatahkan oleh fakta persidangan. Dia mengatakan memiliki semua rekaman persidangan untuk membuktikan hal itu. "Tidak bisa dan tidak boleh fakta persidangan diambil sepenggal-penggal sehingga menjadi tidak utuh atau tidak lengkap. Jika fakta persidangan dipenggal-penggal, maka bukan lagi fakta tapi lebih cocok disebut hoaks," kata dia.