TEMPO.CO, Jakarta - Faisol Riza yang merupakan korban penculikan 1998 mengatakan suratnya kepada Presiden Jokowi telah mendapat respons. Riza mengklaim sudah dipanggil Istana untuk membicarakan tindak lanjut dari permintaannya itu.
Baca juga: Sejumlah Keluarga Korban Penculikan Nyatakan Tak Dukung Prabowo
"Mereka berkomitmen untuk membantu keluarga korban mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari, secara ekonomi dan pendidikan keluarga," kata Riza di Hotel Grand Cemara, Jakarta, Rabu, 13 Maret 2019.
Riza sebelumnya mengirimkan surat kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo dan Presiden Jokowi. Kepada keduanya, politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini mengingatkan rekomendasi Panitia Khusus Pembahasan Kasus Penghilangan Orang secara Paksa 1997/1998 yang telah disepakati dalam sidang paripurna DPR 28 September 2009.
Keempat rekomendasi DPR itu secara berurutan ialah pembentukan pengadilan HAM ad hoc, pencarian para korban, rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga korban, dan ratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa. Riza mengatakan, pemerintah menyatakan bakal memenuhi rekomendasi-rekomendasi itu, termasuk membentuk pengadilan HAM adhoc.
"Mereka berkomitmen untuk melakukan proses semaksimal mungkin untuk melalui prosedur memenuhi kewajiban pemerintah, rehabilitasi dan kompensasi, pengadilan adhoc," kata dia.
Riza adalah satu dari sembilan aktivis korban penculikan 1998 yang kembali. Delapan lainnya ialah Mugiyanto, Aan Rusdianto, Andi Arief, Nezar Patria, Haryanto Taslam, Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang, dan Rahardjo Waluyo Jati.
Adapun 13 aktivis lainnya masih hilang hingga kini. Mereka adalah Wiji Thukul, Petrus Bimo Anugerah, Suyat, Yani Afri, Herman Hendrawan, Dedi Hamdun, Sony, Noval Alkatiri, Ismail, Ucok Siahaan, Yadin Muhidin, Hendra Hambali, dan Abdun Nasser.
Kemarin, Riza, Aan, dan Mugiyanto mendampingi sejumlah keluarga korban aktivis yang hilang menggelar konferensi pers. Mereka menyatakan tak akan mendukung calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto yang diduga terlibat dalam penculikan dan penghilangan paksa itu.
Kendati begitu, para keluarga korban juga tak optimistis terhadap calon presiden 01 Joko Widodo. Sebab, selama empat tahun memerintah Jokowi tak juga menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Namun, keluarga korban menilai proses penuntasan justru akan lebih berat jika Prabowo yang terpilih menjadi presiden.
"Tapi sekarang hanya ada dua kandidat, mau tidak mau kita gantungkan harapan sedikit ke Jokowi," kata Paian Siahaan, ayah dari Ucok Munandar Siahaan.
Baca juga: Kata BPN Soal Keluarga Korban Orang Hilang Ajak Tak Pilih Prabowo
Utomo Rahardjo, ayah dari korban orang hilang 1998 Petrus Bimo Anugerah juga pesimistis Presiden Joko Widodo atau Jokowi bakal membentuk pengadilan HAM Adhoc jika kelak terpilih lagi.
Dia menyadari banyak orang di lingkaran Jokowi yang juga diduga terlibat dalam kasus penculikan 1998 dan penghilangan paksa itu, atau terlibat dalam pelanggaran HAM berat lainnya.
"Sangat pesimis, itu enggak akan terwujud. Palang pintunya bukan main kuatnya di sekitar kekuasaan Pak Jokowi," kata Utomo.