TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Marsekal Hadi Tjahjanto memperluas pos jabatan bagi perwira tinggi tentara di internal TNI dan lembaga negara menuai kritik. Upaya untuk menyalurkan perwira tinggi tanpa jabatan alias non-job itu dianggap berpotensi menimbulkan masalah baru.
Baca juga: Panglima TNI Mutasi 104 Perwira Tinggi, Berikut Daftarnya
Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Evan Laksmana, mengatakan bahwa melonjaknya jumlah jenderal yang menganggur sudah bisa diprediksi sejak Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disahkan. Usia pensiun jenderal yang bertambah dari 55 menjadi 58 tahun menyebabkan antrean naik pangkat para perwira di bawahnya menjadi lebih panjang. Selain itu, berakhirnya dwifungsi (masa ketika tentara bisa menempati jabatan sipil) sejak era Reformasi menyebabkan banyak perwira tinggi kehilangan jabatan.
Semestinya, kata Evan, pemerintah mengambil langkah antisipasi sejak undang-undang tersebut dibuat. “Diselesaikan lewat manajemen personel dan kaderisasi yang baik,” ujar dia, Selasa, 5 Februari 2019. “Tidak bisa hanya lewat solusi jangka pendek dengan penambahan struktur baru.”
Rencana penambahan pos jabatan baru bagi tentara mencuat pekan lalu dalam rapat pimpinan TNI di Cilangkap, Jakarta Timur, yang dihadiri Presiden Joko Widodo. Kala itu, Hadi juga mengusulkan perubahan struktur TNI sekaligus revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
“Kami menginginkan bahwa lembaga atau kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu, eselon dua. Tentunya akan juga menyerap pada eselon-eselon di bawahnya, sehingga kolonel bisa masuk di sana,” kata Hadi.
Sebelumnya, Jokowi juga sempat mengungkapkan rencana restrukturisasi di tubuh TNI berupa penambahan 60 pos jabatan struktural baru bagi perwira tinggi. “Ada 60 jabatan, bintang baik 1, 2, 3,” ujar Jokowi di Istana Negara, Selasa pekan lalu.
Baca juga: Restrukturisasi TNI, Jokowi: Ada 60 Jabatan Pati Baru
Berdasarkan data Kementerian Pertahanan, jumlah perwira tinggi TNI yang menganggur terus terakumulasi sejak sembilan tahun lalu. Di Angkatan Darat, misalnya, pada 2011 terdapat 11 jenderal yang tidak mendapat jabatan. Jumlah itu melonjak menjadi 63 jenderal pada 2017. Jenderal tanpa jabatan itu hanya masuk kantor di lantai 8 gedung utama Markas Angkatan Darat.
Menurut Evan, penumpukan jumlah perwira juga disebabkan oleh rekrutmen Sekolah Staf dan Komando Militer di tiga matra yang tidak dirampingkan. Setiap tahun, ada sekitar 300 lulusan Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat. Jika jumlah rekrutmen sekolah itu tidak dikurangi menjadi setengahnya, “Bakal ada 600 perwira menganggur pada 2027,” ujarnya.
Evan menilai penambahan puluhan pos jabatan baru di tubuh TNI hanya solusi jangka pendek. Pada saat yang sama, anggaran negara untuk TNI bakal membengkak. Dia memperkirakan setidaknya 40-50 persen anggaran pertahanan akan habis untuk menggaji personel TNI.
Artikel selengkapnya bisa dibaca di Koran Tempo