Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Perkembangan Bahasa Politik Kita

image-gnews
Iklan
Kritik Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri, bahwa pemerintah sekarang seperti sedang menari poco-poco, segera ditanggapi, setidaknya oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang mengatakan bahwa pemerintah Megawati dulu seperti penari dansa. Baik "poco-poco" maupun "dansa" tentu bukan genuine istilah politik, tapi keduanya segera masuk ke kamus bahasa politik. Megawati juga pernah melontarkan sindiran bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono suka "tebar pesona". Dan SBY sendiri pernah melontarkan kalimat "I don't care with my popularity".Bagaimana perkembangan bahasa politik kita kini? Apabila dibandingkan dengan era 1950-an, tentu saja ia telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi, tingkat pendidikan, dan kesadaran politik masyarakat. Perkembangan budaya pop juga sangat mempengaruhi. Banyak unsur pop yang masuk ke ranah politik. Dan itu wajar, terutama sebagai tuntutan kompetisi demokrasi langsung. Karena itulah dapat dipahami mengapa dulu SBY perlu menyanyikan lagu pop karya kelompok musik Jamrud dan mendatangi final kontes Indonesian Idol. Dulu Presiden Abdurrahman Wahid pernah menyempatkan menonton Ketoprak Humor.Kini, seperti acara di televisi, tokoh-tokoh dapat dikuantifikasi derajat popularitasnya. Berkecambahnya lembaga-lembaga riset dan jajak pendapat menegaskan bahwa, dalam budaya politik langsung, eksistensi mereka perlu. Tak hanya mengukur tingkat popularitas, lembaga-lembaga itu juga menawarkan konsultasi dan langkah-langkah strategis menggenjot popularitas, alias menjadi instruktur penggenjot popularitas.Kicauan burungKembali ke poco-poco dan dansa, orang Jawa mengistilahkan kritik dan jawaban atas kritik yang menggelitik itu dengan istilah saur manuk alias percakapan sahut-sahutan antarburung. Ketika burung yang satu mengoceh alias berkicau, burung yang lain langsung menyahutinya. Bagi penggemar kicauan burung, semakin terus-menerus burung-burung berkicau, semakin bagus. Bahkan agar burung mau berkicau pun, seseorang harus memancingnya. Tapi kicauan burung itu tentu hanya akan sekadar berisik, ketika kehilangan bobot dan substansi. Dulu mantan perdana menteri Sjahrir mengkritik keras sikap dan kebijakan Presiden Soekarno dengan menulis misalnya pamflet "Perjuangan Kita", sementara Mohammad Hatta menulis artikel serius di majalah Pandji Masjarakat berjudul "Demokrasi Kita". Dari situ publik menjadi tahu akan kritik-kritik anti-fasis Sjahrir, dan argumentasi-argumentasi mengapa Demokrasi Terpimpin bukan demokrasi sebagaimana dilontarkan Hatta. Memang kemudian rezim Soekarno represif dalam merespons kritik lawan-lawan politiknya. Banyak di antara mereka yang dipenjarakan, sebelum kemudian dibebaskan kembali oleh pemerintah Orde Baru. Presiden Soekarno sendiri butuh waktu berjam-jam berpidato ketika menjelaskan mengapa partai-partai politik perlu dikubur, tatkala melihat hiruk-pikuk demokrasi parlementer dianggap kontraproduktif. Melalui media massa cetak yang dimiliki, partai-partai politik melontarkan kritik, dan tradisi berpolemik berkembang luar biasa. Pandangan-pandangan kebudayaan di Bintang Timoer terbitan pihak Komunis, misalnya, tidak sejalan dengan banyak media massa cetak partai non-Komunis. Sisa tradisi berpolemik itu, misalnya, dapat dilihat pada awal Orde Baru, antara S.M. Amien dari Harian Abadi dan Redaksi Berita Yudha, mengenai perlu-tidaknya ABRI terlibat dalam politik.Bahasa politik sebagaimana yang tertuang dalam media massa partai jelas sekali: memendam maksud politik, mengupayakan kebenaran pendapat masing-masing. Publik dengan cepat dapat menangkap apa maunya kelompok politik yang satu dibanding yang lain. Bahasa politik yang berkembang dalam kartun-kartun politik pun masih tergolong sederhana, dan bahkan terkesan ketinggalan dari sudut kacamata bahasa kontemporer. Majalah Tempo, misalnya, pernah menampilkan ulang karikatur seorang tokoh politik yang digambar layaknya "koetjing garong". Tentu saja aspek ideologi-aliran yang kental saat itu membuat istilah-istilah yang berat-berat muncul, seperti revolusioner dan kontra-revolusi. PergeseranPada masa Orde Baru, seiring dengan arus deras depolitisasi yang disetel dari atas, banyak perbendaharaan kata lama yang terpinggirkan, kalau bukan hilang. Kata revolusioner berganti menjadi pembangunan, Pancasila menggantikan politik aliran, demokrasi kalah populer dari stabilitas. Hadir pula istilah murni dan konsekuen. Bahasa-bahasa yang ideologis bergeser menjadi pragmatis. Istilah-istilah seperti anti-neokolonialisme dan anti-neoimperialisme tergeser oleh cabe merah keriting dan bawang merah pipilan. Rapat massa tergeser oleh Kelompencapir (Kelompok Pendengar, Pembaca, dan Pemirsa). Kata-kata penghalusan (eufemistis) juga banyak ditemui. Istilah menangkap dipersopan dengan mengamankan, menekan dan menangkap secara militer diperhalus dengan menggebuk. Istilah penggusuran tidak diperkenankan, yang boleh adalah penertiban, bahkan lebih dari itu ada "operasi esok penuh harapan". Tentu saja kita juga banyak menjumpai istilah-istilah lain, seperti tunawisma untuk gelandangan dan tunasusila bagi pelacur. Tapi kemudian pembangunan tergeser oleh reformasi. Menu sajian bahasa politik kita di era reformasi ini tak kalah variatif, mulai dari "verifikasi", "penyelesaian di tingkat lobi", "amendemen", hingga "elektabilitas". Partai-partai memang banyak, layaknya pada 1950-an. Tapi rasanya minus "ideologi". Pada saat ini jarang ditemukan polemik ideologis dibanding pada 1950-an. Tak ada lagi artikel "Demokrasi Kita", karena nyaris pendapat semua tokoh politik dapat diakses media. Fenomena "esok dele, sore tempe" menjadi mudah terlihat dengan adanya media yang merekam pernyataan-pernyataan para politikus kita, baik yang dicap reformis sejati maupun yang tidak sejati.Istilah onderbouw muncul lagi, tapi tak lagi perlu digelisahkan oleh para aktivisnya. Organisasi-organisasi dadakan yang mengklaim dukungan politiknya ke pasangan calon presiden tertentu lazim saja. Mereka tidak perlu takut-takut untuk dicap tidak independen, karena memang maksudnya politik. Organisasi-organisasi independen pun rajin bicara politik, khususnya menjelang pemilu. Istilah independen tampaknya juga kian tergusur. Publik tidak lagi melihat sebagai sesuatu yang diwajibkan. Toh, sebagian besar massa Partai Kebangkitan Bangsa, misalnya, adalah dari jemaah Nahdlatul Ulama.DeintelektualisasiAspek-aspek budaya pop yang muncul ke panggung-panggung politik menyebabkan banyak pemerhati budaya memandang bahwa potongan-potongan gambar atas atraksi elite politik kita merupakan bagian tak terpisahkan dari serial sinetron politik. Popularitas tokoh perlu dibantu oleh efek khusus, sehingga memperkuat datangnya "momentum baik". Kalau Lord Acton beraksioma bahwa kekuasaan cenderung korup, kini seolah ia telah tergusur oleh rumus baku bahwa popularitas membutuhkan efek ketertindasan alias penzaliman. Semakin besar efek "belas kasihan" hadir, semakin ngetop popularitasnya.Demokrasi langsung juga meninggalkan nasihat, sebagaimana dipopulerkan oleh kalangan LSM, "Ambil saja duitnya, jangan coblos orangnya." Dulu, kalangan LSM rajin mengampanyekan anti-politikus busuk. Ibarat buah, maka pilihlah yang segar, jangan yang busuk dan banyak ulatnya. Begitu pun, politik uang masih saja semarak. Nurcholish Madjid (Cak Nur, almarhum) telah mempopulerkan istilah, tidak saja checks and balances atau trial and error dalam banyak lontarannya tentang terowongan gelap reformasi, tapi juga "gizi" sebagai sebutan halus (eufemisme) dari suap politik. Ditanya "gizi"-nya mana, mula-mula Cak Nur bingung. Tapi akhirnya ia menjadi paham juga maksudnya, kira-kira sama dengan frase "diselesaikan secara adat". Apakah para politikus kita tengah mengalami deintelektualisasi, menyimak pilihan kata mereka dalam melontarkan kritik dan merespons balik? Pemimpin politik tidak harus hadir dari latar belakang intelektual, tapi seharusnya mampu mengedepankan aspek intelektualitas dalam berpolitik. Perdebatan antarkandidat, ataupun interaksi komunikasi politik antara kalangan oposisi dan yang memerintah dalam tradisi demokrasi langsung, mestinya menampakkan dimensi intelektualitas itu. Tidak cukup sekadar dengan saur manuk. * M. Alfan Alfian, dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

21 November 2023

Salah seorang pedagang menunjukan jenis beras sentra ramos di Pasar Tanah Merah Mutiara Gading Timur, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, 19 Mei 2015. Beras yang berasal dari Karawang dengan merk sentra ramos diduga merupakan beras bercampur bahan sintetis. ANTARA FOTO
Pakar IPB Ungkap Dampak Nasi Beras Merah Campur dengan Putih

Mengonsumsi nasi atau beras merah saat ini dianggap menjadi sebuah solusi saat menjalani gaya hidup sehat.


Seragam Khusus Koruptor

13 Agustus 2008

Seragam Khusus Koruptor

Ide Komisi Pemberantasan Korupsi tentang seragam khusus dan memborgol koruptor baru-baru ini telah menjadi perbincangan hangat berbagai kalangan masyarakat.


Presiden Kaum Muda

1 Agustus 2008

Presiden Kaum Muda

Kini semakin banyak muncul calon presiden di republik ini. Rata-rata berusia di atas 40 tahun. Kalau menurut ukuran Komite Nasional Pemuda Indonesia, usia itu termasuk tua.


SOS Sektor Ketenagalistrikan

16 Juli 2008

SOS Sektor Ketenagalistrikan

Berbagai kebijakan yang digulirkan pemerintah, selain tidak kondusif untuk mengembangkan ketenagalistrikan secara sehat, bahkan, dalam banyak hal, justru bersifat destruktif terhadap sektor ketenagalistrikan itu sendiri.


Membersihkan Korupsi Kejaksaan

2 Juli 2008

Membersihkan Korupsi Kejaksaan

Bukti rekaman antara Artalyta Suryani dan pejabat tinggi Kejaksaan Agung yang diperdengarkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sungguh memukul dan membuat kecewa seluruh jajaran korps Adhiyaksa.


Urgensi Hak Angket BBM

27 Juni 2008

Urgensi Hak Angket BBM

Sesuai dengan Pasal 20-A UUD 1945 ayat (1), Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.


Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

18 Juni 2008

Meningkatkan Kedewasaan Bangsa

Setelah sembilan tahun reformasi, adakah pers kita sudah lebih dewasa? Sebagai Ketua Umum Serikat Penerbit Suratkabar yang baru (menggantikan Bapak Jakob Oetama), saya harus banyak bertemu dengan tokoh pers dan keliling daerah se-Indonesia.


Mengkorupsi Bea dan Cukai

7 Juni 2008

Mengkorupsi Bea dan Cukai

Instansi Bea dan Cukai dalam beberapa hari ini telah menjadi sorotan publik yang luar biasa. Hal ini terjadi setelah Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea-Cukai Tanjung Priok, Jumat, 30 Mei 2008.


Menggali Jejak Kebangkitan

21 Mei 2008

Menggali Jejak Kebangkitan

Bagaimanakah kita harus memaknai seratus tahun kebangkitan nasional? Rasa-rasanya, bagi kebanyakan orang saat ini, sebuah perayaan sebagai bentuk parade sukacita bukanlah pilihan.


Gagalnya Manajemen Perparkiran

9 Mei 2008

Gagalnya Manajemen Perparkiran

Di tengah kegelisahan masyarakat atas melambungnya berbagai harga bahan kebutuhan pokok dan kenaikan harga bahan bakar minyak, Pemerintah DKI Jakarta justru menyeruak dengan kebijakan yang rada ganjil: menggembok mobil.