TEMPO.CO, Jakarta - Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (PSKP UGM) mengajukan Nahdlatul Ulama atau NU dan Muhammadiyah sebagai calon penerima Nobel Perdamaian. Kedua organisasi Islam itu dinilai berperan menjaga perdamaian di dalam dan luar negeri.
Baca juga: Soal Pidato Prabowo, NU dan Muhammadiyah Yakin RI Tak Akan Bubar
Kepala PSKP UGM Najib Azca, mengatakan NU dan Muhammadiyah sudah berperan sejak awal transisi demokrasi. "Keduanya menjadi kekuatan penting pendukung dan penyokong gerakan reformasi," kata dia saat dihubungi Tempo, Selasa, 22 Januari 2019.
Buktinya ialah aliansi empat tokoh populer yang disebut tokoh Ciganjur yaitu Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengkuwono X. Mereka masing-masing mewakili kelompok Islam tradisional, Islam modernis, nasionalis, dan politik serta budaya Jawa.
Kombinasi Gus Dur yang mantan pimpinan tertinggi NU dan Amien Rais yang mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, menurut Najib, merupakan pilar bagi gerakan pro-demokratisasi di Indonesia. Amien terkenal sebagai tokoh reformasi yang mengkritik pemerintah Presiden Soeharto. Sementara Gus Dur aktif menggalang dukungan lintas etnis dan agama melalui pendirian Forum Demokrasi yang mengkritik kebijakan otoriter Orde Baru.
Kedua organisasi Islam itu juga bekerja sama melawan gerakan Islam transnasional, seperti salafi-wahabi, HTI, Ikhwanul Muslimin (IM) dan lainnya. Mereka membendung gerakan itu dengan mengeluarkan suatu putusan atau fatwa. Mereka melarang penggunaan amal usaha dan fasilitas Muhammadiyah oleh partai politik terutama oleh PKS dan penolakan NU atas gerakan Islam transnasional yang dapat mengancam keutuhan bangsa Indonesia.
Najib mengatakan, Muhammadiyah dan NU juga memainkan peran penting dalam membangun basis bagi budaya politik damai dan demokratis. Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai program dan amal usaha yang dilakukan di berbagai bidang, termasuk pendidikan, dakwah, sosial dan ekonomi.
"Dari sisi perdamaian, apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah dan NU tersebut bisa dilihat sebagai ikhtiar membangun ‘perdamaian positif’ yang berarti menghilangkan aneka bentuk kekerasan struktural dan kultural yang ada di masyarakat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial," ujar Najib.
Di dunia internasional, Muhammadiyah dan NU turut ambil andil dalam menjaga perdamaian. Muhammadiyah fokus pada program filantropi dan bantuan kemanusiaan. Mereka mendirikan rumah sakit dan sekolah di Rakhine State, Myanmar, dan Palestina, serta menyediakan ratusan beasiswa penuh untuk komunitas Mindanao di Filipina dan Pattani di Thailand Selatan. Muhammadiyah juga memberikan pemberdayaan ekonomi serta pendidikan di kalangan Bangsa Moro Filipina.
Baca juga: Dokumen AS Soal 1965, NU dan Muhammadiyah Sepakat Rekonsiliasi
Sementara itu, NU berfokus pada upaya mencari resolusi konflik serta upaya bina damai di sejumlah zona konflik internasional seperti di Afghanistan. Mereka mengirimkan delegasi-delegasi ulama Indonesia ke sana, atau pun sebaliknya, mengundang pihak yang bertikai untuk bertemu dan mencari solusi damai di bumi Nusantara.
NU juga mencoba mengambil peran meretas jalan damai dalam konflik Palestina-Israel dengan misi perdamaian yang dilakukan oleh Gus Dur. Upaya itu kemudian dilanjutkan oleh Yahya Cholil Staquf.
Najib mengatakan, peran aktif dan konstruktif di panggung internasional yang dilakukan NU dan Muhammadiyah merupakan inspirasi segar dan cemerlang di situasi saat ini. Dunia Islam tengah diwarnai kecamuk konflik kekerasan dan peperangan berkepanjangan yang melibatkan kelompok dan negara Islam. "Islam Indonesia telah menawarkan diri sebagai suatu model dari keberagamaan Islam yang damai, demokratis dan berkeadaban bagi dunia," katanya.
Catatan:
Judul dan isi berita telah diubah pada Kamis, 24 Januari 2019, pukul 07.17 WIB karena ada koreksi.