TEMPO.CO, Pasuruan–Tersangka kasus penganiayaan anak, Bahar bin Smith, diketahui pernah menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Darullughah Wadda'wah (Dalwa) di Jalan Raya Raci, Desa Raci, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Mengenai bekas santri Dalwa yang bermasalah seperti Bahar, menurut salah satu anggota Dewan Guru Dalwa, hal itu sudah di luar tanggung jawab lembaga. Ia pun mengibaratkan bekas santri Dalwa seperti telur asin yang diolah dari telur bebek, ada yang bagus atau lezat dan ada yang jelek atau busuk.
Baca: Tetangga Mengira Korban Penganiyaan Bahar bin Smith Kecelakaan
“Dalwa sama dengan dengan bebek, telurnya warna biru telur asin (bagus). Kalau ada telur asin coklat (jelek) itu sudah diolah orang lain,” kata anggota Dewan Guru Dalwa yang tidak ingin namanya disebut saat dikonfirmasi, Jum’at, 21 Desember 2018.
Jika ada bekas santri yang berperilaku buruk, menurutnya, kemungkinan besar sudah terpengaruh lingkungan atau kelompok tertentu. Filosofi bagusnya warna biru telur asin itu, menurutnya, sama dengan filosofi warna biru telur asin yang menghiasai warna dominan dari bangunan pesantren Dalwa. “Dalwa itu khan warnaya biru telur asin,” katanya.
Pengasuh Pondok Pesantren Dalwa Habib Ali Zainal Abidin membenarkan Bahar pernah mondok di Dalwa. “Memang pernah di Dalwa saat masih kecil. Setelah dari Dalwa mungkin ke tempat lain. Di Dalwa hanya sekitar 2-3 tahun sekolah tingkat Madrasah Ibtidaiyah,” kata ulama yang akrab disapa Habib Zain ini.
Simak: Kenapa Kasus Bahar bin Smith Kriminal Murni, Bukan Kriminalisasi?
Zain tidak ingin menanggapi kasus yang menimpa Bahar. “Ana (saya) sementara sibuk di pendidikan, tidak mengikuti (kasusnya),” katanya. Zain juga menegaskan Dalwa tidak terkait dengan kepentingan politik apapun. “Disini tidak ada politik, tidak ingin terjebak konflik-konflik. Kita hanya fokus mengajar membantu pemerintah, polres, dan bekerjasama dengan semuanya. Kita fokus pada pendidikan."
Dalwa dirintis oleh ayah Zain, Habib Hasan bin Ahmad Baharun, ulama asal Sumenep, Madura. Aktivitas pesantren dimulai 1981 dengan menyewa rumah di Bangil, Pasuruan. Pada 1985 atas dukungan ulama Mekkah, Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Hasan mendirikan pesantren di Desa Raci.
Dari tahun ke tahun santri Dalwa bertambah dan kini mencapai ribuan. “Jumlah santri sekarang sekitar 9.000 orang baik putra dan putri,” kata Zain.
Melihat riwayat sejarah pondok setempat, memang sama sekali tidak berafiliasi dengan organisasi radikal. Bahkan almarhum Habib Hasan Baharun, pernah jadi juru kampanye Partai Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan Habib Hasan pernah jadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Pasuruan hingga wafat 1999.