TEMPO.CO, Banten - General Manager Beach Club Tanjung Lesung Hendro mengatakan beberapa menit sebelum gelombang tinggi menggulung kawasan wisata tersebut ia mendengar bunyi yang tak biasa dari arah laut. "Bunyinya klatak, klatak, seperti benda ditabrak air. Kencang sekali," kata Hendro salah satu saksi tsunami Selat Sunda saat ditemui Tempo di Kelurahan Cikadu, Banten, Ahad petang, 23 Desember 2018.
Baca: Tsunami di Pantai Anyer Diduga Akibat Erupsi Gunung Anak Krakatau
Tsunami di perairan Selat Sunda menyapu pesisir Tanjung Lesung pada Sabtu malam, 22 Desember. Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut 222 orang meninggal dan 500 lainnya luka-luka akibat tsunami itu.
Di hari naas itu, kata Hendro, 108 orang tengah menginap di hotel tempatnya bekerja. Sebanyak 60 di antaranya merupakan pegawai Kementerian Pemuda dan Olahraga plus keluarganya yang tengah merayakan family gathering.
Tatkala tsunami datang dan suara gelombang menyeru kencang menyertainya, pekik minta tolong seratusan orang itu pecah seketika. "Ada yang memanggil nama anaknya, suaminya, istrinya," kata Hendro.
Malam itu, sekitar pukul 21.30 WIB, Hendro mengisahkan, tak ada hal lain selain gelap yang dirasakan. Tak ada suara lain pula yang didengarkan selain teriakan.
Hendro bersembunyi di dalam kontainer ketika tsunami Tanjung Lesung datang. Begitu keluar dari persembunyian ia menemukan banyak orang terluka. Seketika itu juga, Hendro dan sejumlah pengelola hotel di tempatnya bekerja langsung mengevakuasi korban.
Para korban digiring ke Bukit Tsunami yang berlokasi di dalam Kawasan Ekonomi Khusus Tanjung Lesung. Sejumlah korban juga langsung diantar ke klinik-klinik terdekat menggunakan mobil hotel.
Simak: Tsunami Selat Sunda, Cerita Koki yang Selamat Berkat Kabel AC
Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi Klimatologi, dan Geofisika menyebut gelombang pasang tinggi akibat cuaca dan erupsi Gunung Anak Krakatau menjadi penyebab tsunami Selat Sunda.