TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Geologi ESDM Rudy Suhendar mengatakan Gunung Anak Krakatau yang berada di Selat Sunda telah menunjukkan aktivitas erupsi setiap hari sejak 29 Juni 2018. "Sampai sekarang terus menunjukkan aktivitas yang cukup besar," ujar Rudy melalui teleconference di Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ahad dini hari, 23 Desember 2018.
Pada Ahad kemarin saja tercatat empat kali erupsi, yaitu sekitar pukul 13.51, 17.00, 19.00, dan 21.03. Untuk tiga erupsi awal, lanjut Rudy, tim yang berada di pos masih bisa memantau secara visual. Lontaran partikel dalam setiap erupsi rata-rata setinggi 100-300 meter. "Namun untuk erupsi pukul 21.03 kami tidak bisa memantau secara visual karena kondisi cuaca yang kurang mendukung," kata Rudy.
Baca: Tsunami di Pantai Anyer Diduga Akibat Erupsi Gunung Anak Krakatau ...
Aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau ditengarai sebagai penyebab dari tsunami yang melanda Pantai Anyer, Banten, dan Lampung pada Sabtu malam, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.30. Rudy mengatakan hal itu mungkin saja terjadi jika terjadi longsor di lereng gunung akibat erupsi.
Dugaan itu diperkuat oleh temuan yang serupa, pukul 21.03 pos pemantauan PVMBG di Pulau Sertung, Lampung mencatat adanya aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau. Sedangkan stasiun BMKG di Cigeulis, Banten pada waktu yang sama mencatat adanya peningkatan permukaan air laut.
Baca: Letusan Gunung Anak Krakatau Masuki Tahap Akhir
Meski begitu, Rudy mengatkan timnya perlu melakukan verifikasi terlebih dahulu. Hal senada disampaikan oleh Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rachmat Triyono, bahwa untuk memastikan penyebab tsunami adalah erupsi Gunung Anak Krakatau, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. "Lebih detail karena longsoran atau letusan perlu diteliti," kata Rahmat.