TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mencatat terdapat sekitar 381 korban yang dijerat dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, khususnya pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 hingga 31 Oktober 2018. Sebanyak 90 persen diantaranya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Atas hal tersebut, Paguyuban Korban Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik mendesak pemerintah menghapus seluruh pasal karet dalam UU ITE, terutama, Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2.
Baca: Pemerintah Didesak Hapus Pasal Karet UU ITE
Tempo pun melakukan polling selama satu pekan, dari 5 hingga 12 November lalu mengenai desakan penghapusan pasal karet tersebut. Dari sebanyak 886 pembaca Tempo.co yang berpartisipasi, sebanyak 452 responden atau sekitar 51 persen menjawab "Ya" atau setuju dengan penghapusan pasal tersebut.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE, Muhammad Arsyad, menilai UU ITE banyak digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan membungkam kritik jika dilihat dari timpangnya relasi kuasa antara pelapor dan terlapor. "Banyak pelapor yang berasal dari kalangan pejabat, aparat, dan pemodal," kata Arsyad pada Senin, 5 November 2018.
Baca: Yusril Ihza Mahendra: Jangan Sedikit-sedikit UU ITE
Arsyad mencontohkan kasus ada Ervani dari Yogyakarta yang dilaporkan oleh pimpinan perusahaan tempat suaminya bekerja. Dia dilaporkan karena menulis tentang kapasitas kepemimpinan pejabat perusahaan tersebut. Lain lagi dengan kasus yang menimpa aktivis dan jurnalis yaitu Anindya Shabrina di Surabaya. Ia dilaporkan karena menulis kronologis pembubaran diskusi dan pelecehan seksual yang pelakunya aparat kepolisian di asrama Papua Surabaya.
Sementara itu, sebanyak 414 pembaca atau sekitar 48 persen menyatakan tidak setuju dengan penghapusan pasal karet dalam UU ITE tersebut. Jumlah antara yang menjawab setuju dan tidak setuju hanya terpaut 38. Ada pula yang menjawab tidak tahu sebanyak 20 atau sekitar 1 persen.