TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Andi Arief menyebut Dewan Penasihat Persaudaraan Alumni 212 Eggi Sudjana salah dalam menafsirkan sikap Partai Demokrat terkait politik identitas. Eggi sebelumnya menyebut cara berpolitik Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono banci dan tidak tegas. Sebutan banci dan tidak tegas ini disematkan Eggi menanggapi pidato SBY sebelumnya.
Andi mengatakan partainya tak mau terjebak di salah satu polar kekuatan kelompok kanan atau kiri yang menguat setelah pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Andi berujar, partainya berusaha untuk berada di tengah.
Baca: Eggi Sudjana Tak Setuju Pendapat SBY Soal Politik Identitas
"Demokrat berupaya tarik sebagian kiri atau kanan dan minoritas menyatu di kekuatan tengah agar tidak bipolar yang bahaya. Eggi Sudjana salah tafsir," kata Andi melalui cuitan di akun Twitternya, @AndiArief_, Senin, 12 November 2018.
Dalam pidato di pembekalan calon anggota legislatif di The Sultan Hotel Sabtu pekan lalu, SBY mengatakan bahwa mencuatnya politik identitas dan hal-hal berbau narasi esktrem membuat atmosfer politik dan demokrasi Indonesia tidak sehat. Dia berujar, rakyat dihadapkan pada situasi rawan pertengkaran hingga perpecahan.
Eggi mengatakan tak sependapat dengan SBY. Dia menilai identitas itu tak bisa dilepaskan dari politik. Pentolan Persaudaraan Alumni 212 ini beralasan, Islam memerintahkan penganutnya menunjukkan identitasnya sebagai muslim.
Baca: SBY: Saya Menahan Emosi Difitnah Soal Century dan Hambalang
Eggi juga mengungkit sikap SBY dan Demokrat di pemilihan presiden 2014 yang dinilai tak tegas dan tak jelas. Menurut Eggi, Prabowo akan menang seumpama SBY tegas mendukung di pilpres ketika itu. Dia menyebut SBY juga tak tegas dan cenderung mengambil posisi aman di pilpres 2019 ini.
"Netral itu setan bisu dalam perspektif tauhid. Dia setan, tapi bisu, tapi kan tetep setan," kata Eggi di D Hotel, Ahad, 11 November 2018. "Ya saya enggak bilang dia (SBY) setan. Ini kan soal sikap, jangan diplintir. Kalau politik banci bener."
Andi Arief melanjutkan, Partai Demokrat belajar menghindari politik bipolar dengan cara demokratis dari para pendahulu, seperti Sukarno dan Soeharto. Dia merujuk Sukarno dengan nasionalis, agama, dan komunis atau Nasakom dan Soeharto dengan fusinya.
"Sayangnya mereka lakukan dengan paksaan dan akali undang-undang seperti Jokowi ngakali parlemen dan undang-undang serta MK untuk politik bipolar," kata Andi.
Andi berujar banyak tokoh politik yang menjadi korban politik bipolar ini, Eggi Sudjana salah satunya. "Eggi terjerumus dalam nikmatnya benturan Islam dan nasionalis seakan-akan jadi laki-laki sejati dengan keislamannya," kata dia.
Baca: Pesan SBY ke Jokowi dan Prabowo: Jangan Gunakan Politik Identitas
Andi juga mengungkit kondisi politik tahun 2004-2014 yang disebutnya stabil. Dua periode pemerintahan Presiden SBY ini, kata dia, adalah masa persatuan nasional antara mayoritas tengah, sebagian kiri, sebagian kanan, dan kelompok minoritas. "Itulah mengapa terjadi kedamaian dalam multipartai dan mendorong ekonomi tumbuh," kata dia.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan, Demokrat memainkan peran nonblok untuk menjaga keseimbangan antara dua kelompok. Dia mengatakan sikap itu tidak berarti partainya berpolitik ibarat banci.
"Demokrat itu bandul tengah, ingatkan kalau terlalu ke kanan tarik ke kiri, kalau terlalu kiri tarik ke tengah. Karena itulah Demokrat menjadi jangkarnya RI ini," kata Hinca di The Sultan Hotel, Jakarta, Ahad, 11 November 2018.