TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengaku heran dengan lambatnya penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang dialami mahasiswa Universitas Gadjah Mada. "Kasus UGM itu sudah satu setengah tahun yang lalu ya, sudah lama. Pada saat itu sudah saya perintahkan kepada rektor segera diselesaikan urusan ini," kata Nasir di kantornya, Jakarta, Sabtu, 10 November 2018.
Baca: Cerita Pendamping Mahasiswi Korban Kekerasan Seksual di UGM
Nasir mengatakan, setiap permasalahan yang terjadi di perguruan tinggi merupakan tanggung jawab rektor untuk menyelesaikannya sesuai aturan. Menurut Nasir, setiap rektor perguruan tinggi selalu memiliki pedoman yang diatur, yaitu harus mengikuti prosedur jika terjadi suatu pelanggaran. "Kalau pelanggaran akademik yang sanksinya akademik. Kalau itu menyangkut ke arah pidana serahkan dengan polisi gitu kan. Itu sudah satu setengah tahun yang lalu," kata dia.
Nasir pun menceritakan pengalamannya ketika masih menjabat sebagai Rektor II di Universitas Negeri Diponegoro. Ketika ada mahasiswa memalak temannya dan terjadi tindak pidana berupa kekerasan, ia memberikan sanksi akademik berupa skors selama 1 tahun. Adapun, untuk pelanggaran pidananya diserahkan kepada kepolisian. "Jadi urusan itu adalah di rektor," ujarnya.
Peristiwa dugaan pelecehan seksual dialami mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM saat melakukan kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku. Ia mengalami pelecehan seksual dari rekan sesama kampus berinisial HS, pada Juni 2017 di sebuah pondokan. Kasus terungkap setelah Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM menerbitkan artikel mengenai peristiwa itu.
Baca juga:
Korban sempat melaporkan kasus itu ke lembaga penanganan krisis untuk perempuan Rifka Annisa Yogyakarta. Menurut Direktur Rifka Annisa, Suharti, korban saat itu datang dalam kondisi depresi berat.
"Rifka Annisa mulai melakukan pendampingan pada penyintas sejak bulan September tahun 2017 setelah penyintas datang untuk mengakses layanan di kantor,” kata Suharti, di Yogyakarta, Rabu, 7 November 2018.
Ia menyebut, berdasarkan asesmen awal, penyintas (korban) berada dalam kondisi depresi berat. Fokus utama pendampingan adalah pemulihan kondisi psikologis dan menciptakan rasa aman bagi penyintas.
Dalam kasus ini, pihaknya telah menyampaikan informasi tentang hak-hak korban pada penyintas dan mendiskusikan alternatif penyelesaian melalui jalur hukum. Namun, dalam kasus kasus kekerasan seksual tertentu, proses hukum memiliki kendala-kendala khususnya dalam menjamin terpenuhinya hak-hak dan keadilan korban.
Pada akhir 2017, Rifka Annisa telah menjalin koordinasi dengan Fisipol UGM untuk mencari penyelesaian terbaik kasus tersebut. Rifka Annisa juga mendorong pihak kampus menyusun sistem/mekanisme penyelesaian kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang berbasis pada perlindungan dan pemenuhan hak-hak korban agar kasus-kasus seperti ini tidak terjadi Iagi.
UGM merespons dengan membentuk tim investigasi untuk penyelesaian kasus ini yang kemudian melahirkan beberapa rekomendasi. “Mencuatnya kembali pemberitaan terkait kasus ini mengindikasikan bahwa upaya penyelesaian melalui mekanisme internal UGM belum tuntas dan belum memenuhi rasa keadilan bagi korban,” kata Suharti.